Selasa, 19 Februari 2013

Christina Aguilera _ Hurt _


Seems like it was yesterday when I saw your face
You told me how proud you were but I walked away
If only I knew what I know today

I would hold you in my arms
I would take the pain away
Thank you for all you’ve done
Forgive all your mistakes
There’s nothing I wouldn’t do
To hear your voice again
Sometimes I want to call you but I know you won’t be there

I’m sorry for blaming you for everything I just couldn’t do
And I’ve hurt myself by hurting you

Some days I feel broke inside but I won’t admit
Sometimes I just want to hide ’cause it’s you I miss
You know it’s so hard to say goodbye when it comes to this

Would you tell me I was wrong?
Would you help me understand?
Are you looking down upon me?
Are you proud of who I am?
There’s nothing I wouldn’t do
To have just one more chance
To look into your eyes and see you looking back

I’m sorry for blaming you for everything I just couldn’t do
And I’ve hurt myself
If I had just one more day, I would tell you how much that
I’ve missed you since you’ve been away
Oh, it’s dangerous
It’s so out of line to try to turn back time
I’m sorry for blaming you for everything I just couldn’t do
And I’ve hurt myself
By hurting you



Jumat, 11 Januari 2013

Christina Perri – A Thousand Years


Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I’m afraid to fall
Watching you stand alone
All of my doubt suddenly goes away somehow
One step closer

[Chorus:]
I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I’ll love you for a thousand more


Time stands still
Beauty in all she is
I will be brave
I will not let anything take away
Standing in front of me
Every breath
Every hour has come to this
One step closer

[Chorus:]
I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I’ll love you for a thousand more

And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I’ll love you for a thousand more
One step closer
One step closer

[Chorus:]
I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I’ll love you for a thousand more

And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I’ll love you for a thousand more

Selasa, 30 Oktober 2012

                                     


that's Me..............Bujang Unggu Asli Tanjung Jabung Timur ....Always Smile N Berusaha Membuat orang Laen yang ad disekitarnya TERSENYUM....


Minggu, 15 Juli 2012

pajak ^_^


Pajak penghasilan


a.    Pengertian Penghasilan

Pengertian penghasilan sesuai pasal 4 ayat 1 undang-undang PPh adalah setiap tambahan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Pengertian penghasilan menurut Prabowo adalah jumlah uang yang diterima atas usaha yang dilakukan orang perorangan, badan dan bentuk usaha lainnya yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengonsumsi dan/atau menimbun serta menambah kekayaan.
Dari kedua defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa penghasilan adalah setiap tambahan ekonomis yang diperoleh oleh wajib pajak yang berada di Indonesia yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengonsumsi dan menambah kekayaan.

b. Pengertian Pajak Penghasilan

Pengertian Pajak Penghasian (PPh) berdasarkan Undang-Undang No 17 Tahun 2000 adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak atau suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan yang diperolehnya dalam tahun pajak untuk kepentingan negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakannya.


 Pemungut Pajak Penghasilan

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2007, pemungut PPh pasal 22 adalah:
1.      Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan cukai, atas impor barang.
2.      Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang.
3.      Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada angka 4.
4.      Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamnina, dan Bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN.
5.      Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, Industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya didalam negeri.
6.      Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
7.      Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.


 Objek Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 menurut UU Perpajakan No 36 tahun 2008

Yang merupakan objek pemungutan PPh pasal 22 adalah :
1.      Impor Barang.
2.      Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Pemerintah daerah.
3.      Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daearah yang dananya berasal dari dana APBN maupun APBD.
4.      Penjualan hasil produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, indusri kertas, industri baja dan industri otomotif.
5.      Penjualan hasil produksi yang dilakukan oleh pertamina dan badan usaha selain pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas.
6.      Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan dari pedagang pengumpu



Tidak Termasuk Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22

Adapun yang dikecualikan dari pemotongan PPh pasal 22 ditentukan sebagai berikut:
1.      Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak PenghasiIan.
2.      Barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai.
3.      Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan atas timbal balik.
4.      Barang untuk keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia
5.      Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan.
6.      Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum.
7.      Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
8.      Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya.
9.      Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah.
10.  Barang pindahan.
11.  Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Pabean.
12.  Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum.
13.  Persenjataan, amunisi, dan pelengkapan militer termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara.
14.  Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara.
15.  Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imuniasi Nasional (PIN).
16.   Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.
17.   Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional.
18.  Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional.
19.  Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia.
20.  Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia.
21.  Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
22.  Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos.
23.  Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor.
24.  Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
25.  Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.


Sifat pemungut Pajak Penghasilan

Pemungutan PPh pasal 22 dapat bersifat final dan tidak final. Pemungutan pajak bersifat final dalam PPh pasal 22 artinya bahwa pajak yang telah di bayar oleh Wajib Pajak melalui pemungutan oleh pihak lain dalam tahun berjalan tersebut, tidak dapat dikreditkan pada total PPh yang terutang pada akhir suatu tahun pada saat pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) tahunan PPh.
Jenis pajak penghasilan yang pemungutannya bersifat final adalah:
1.      PPh pasal 22 atas penyerahan hasil produksi industri rokok di dalam negeri.
2.      PPh pasal 22 atas penyerahan hasil produksi industri baja.
3.      PPh pasal 22 atas penyerahan hasil produksi Pertamina atau badan usaha lain yang sejenis kepada penyalur/agen.
Jenis pajak penghasilan yang pemungutannya bersifat tidak final adalah:
1.      PPh pasal 22 atas penyerahan hasil produksi Pertamin atau badan usaha lain yang sejenis kepada pembeli lainnya (pabrikan).
2.      PPh pasal 22 atas penyerahan hasil industri semen.
3.      PPh pasal 22 atas penyerahan hasil industri kertas.
4.      PPh pasal 22 atas penyerahan hasil otomotif.
5.      PPh pasal 22 atas pembelian barang yang dibayar dengan dana dari Anggaran Pengeluaran Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD).
6.      PPh pasal 22 atas pembelian barang yang dilakukan oleh instansi atau badan usaha tertenti seperti BI (Bank Indonesia), BPPN, BULOG, PT Telkom, PT PLN, PT Garuda Indonesia, PT Indosat, dan bank-bank BUMN yang melakuka pembelian barang yang dananya bersumber baik dar APBN maupun non-APBN.
7.      PPh pasal 22 atas import barang.
8.      PPh pasal 22 atas pembelian bahan-bahan atau ekspor hasil industri oleh eksportir industri perkebunan, perhutanan, pertanian, dan perikanan.



 Subyek pajak
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
  1. Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
  2. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
  3. Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
    1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
    3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
    4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
  4. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.


Bukan subyek pajak penghasilan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 200 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk obyek pajak sebagai berikut:
  1. Badan perwakilan negara asing.
  2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
  3. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
  4. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.

 Obyek pajak
Objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak darimanapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.

Tarif Pajak Penghasilan
Tarif Pajak Penghasilan secara umum diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT untuk menghitung Pajak Penghasilan terutang dalam satu tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak. Tarif umum ini dibedakan untuk Wajib Pajak badan dalam negeri/BUT dan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
Untuk keperluan penerapan tarif pajak atas Penghasilan Kena Pajak, maka jumlah Penghasilan Kena Pajak tersebut dibulatkan dahulu ke bawah ribuan rupiah penuh.Misalnya Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp120.324.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp120.324.000,00.
Dengan Peraturan Pemerintah dapat diterapkan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas Penghasilan Tertentu yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan. Besarnya tarif khusus ini tidak boleh melebihi tarif umum pajak tertinggi berdasarkan Pasal 17 Ayat (1).
Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak.Berdasarkan Undang-undang No.17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga Undang-undang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku untuk tahun pajak 2001, tarif pajak dibedakan menjadi dua yaitu untuk Wajib Pajak Badan & BUT dan Wajib Pajak Orang Pribadi. Selengkapnya tarif tersebut disajikan dalam bagian di bawah ini.
Tarif Pajak Badan Dalam Negeri Dan BUT
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak  badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai berikut :   
  Lapisan Penghasilan Kena Pajak
  Tarif Pajak
Sampai dengan Rp50.000.000,00
  10%
Di atas
  Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00
   
  15%
Di atas
  Rp100.000.000,00
  30%
Tarif Pajak Orang Pribadi  Dalam Negeri
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :
  Lapisan Penghasilan Kena Pajak
  Tarif Pajak
Sampai dengan Rp25.000.000,00
  5%
Di  atas
  Rp25.000.000,00  sampai dengan Rp50.000.000,00
   
  10%
Di  atas
  Rp50.000.000,00  sampai dengan Rp100.000.000,00
   
  15%
Di  atas
  Rp100.000.000,00  sampai dengan Rp200.000.000,00
  25%
Di atas
  Rp200.000.000,00
  35%

Pembedaan Tarif Pomotongan dan Pemungutan
Pembedaan tarif pemotongan/pemungutan:
  • Tarif bagi Wajib Pajak ber-NPWP
  • Tarif bagi Wajib Pajak tidak ber-NPWP
Pengenaan tarif yang lebih tinggi bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP tujuannya untuk mendorong Wajib Pajak tersebut mendaftar dan memperoleh NPWP
Tarif Pemotongan/Pemungutan
  • Untuk PPh Pasal 21, tarif lebih tinggi 20% untuk  karyawan yang tidak mempunyai NPWP
  • Untuk PPh Pasal 22 dan Pasal 23, tarif lebih tinggi 100% untuk Wajib Pajak yang tidak mempunyai NPWP
 Pelunasan Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Undang-undang Pajak Penghasilan menentukan pelunasan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak dapat dilakukan melalui dua cara yaitu :
a.
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan
Pajak Penghasilan yang dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan pelunasan/pembayaran atas perkiraan Pajak Penghasilan yang akan terutang dalam suatu tahun pajak. Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan dilakukan oleh Wajib Pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain maupun pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri, sebagai berikut :
1.
Pemungutan pajak oleh pihak lain dilakukan dalam hal diperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) (PPh Pasal 4 ayat (2) Final);
2.
Pemungutan pajak oleh pihak lain dilakukan dalam hal diperoleh penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 (disebut Pajak Penghasilan Pasal 22);
3.
Pemungutan pajak oleh pihak lain dilakukan dalam hal diperoleh penghasilan dari modal, jasa, dan kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 (disebut Pajak Penghasilan Pasal 23);
4.
Pembayaran pajak di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 (disebut Pajak Penghasilan Pasal 24);
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka Undang-undang Pajak Penghasilan menentukan bahwa pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan dapat bersifat final untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang.
Dengan demikian, pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain mempunyai 2 (dua) macam sifat, yaitu :
1.
Pajak Penghasilan yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain merupakan kredit pajak, artinya dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, yaitu tahun  pajak yang sama dengan tahun yang tercantum dalam bukti pemotongan atau pemungutan;
2.
Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain bersifat final, artinya tidak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang.
Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain pada dasarnya mempunyai 2 (dua) tujuan, yaitu :
1.
Mengamankan penerimaan negara berupa Pajak Penghasilan atas jenis-jenis penghasilan yang dikenakan pemotongan atau pemungutan PPh berdasarkan ketentuan Pasal 22, Pasal 23, Undang-undang Pajak Penghasilan;
2.
Untuk memperoleh informasi/data yang berhubungan dengan Wajib Pajak, dalam rangka menciptakan sistem informasi perpajakan yang memadai, guna mengawasi pelaksanaan “self asessment system” sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Pelunasan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan dilakukan oleh Wajib Pajak melalui pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain dan melalui pembayaran pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan tersebut merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. (Pasal 20 Undang-undang Pajak Penghasilan).
Kronologi perubahan undang-undang
Pajak Penghasilan (disingkat PPh) di Indonesia diatur pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
  2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
  3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
  4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah disesuaikan juga beberapa kali dalam:
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005
(sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung pemerintah).
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006.
Cara Perhitungan Pajak Penghasilan
            Berikut langkah-langkah cara Perhitungan pajak karyawan (PPh pasal 21):
Nama
Status
Gaji Bruto
Biaya Jabatan
Jumlah
Gaji Neto Setahun
PTKP setahun
PKP setahun
PPh 21 Setahun
PPh 21 Perbulan
Andi
TK
1.900.rb
95.000
1.805.rb
21.660.rb
15.840.rb
5.820.rb
291.000
24.250
Andi
K/0
1.900.rb
95.000
1.805.rb
21.660.rb
17.160.rb
4.500.rb
225.000
18.750
Andi
K/1
1.900.rb
95.000
1.805.rb
21.660.rb
18.480.rb
3.180.rb
159.000
13.250
Andi
K/2
1.900.rb
95.000
1.805.rb
21.660.rb
19.800.rb
1.860.rb
93.000
7.750
Andi
K/3
1.900.rb
95.000
1.805.rb
21.660.rb
21.120.rb
540.rb
27.000
2.250


Keterangan:
  • Nama : Nama karyawan anda
  • Status : Status karyawan anda
    TK= Tidak kawin
    K/0= Kawin dengan tanggungan anak 0
    K/1 = Kawin dengan tanggungan anak 1
    K/2 = Kawin dengan tanggungan anak 2
    Dan seterusnya.......
  • Gaji Bruto : Gaji karyawan anda tiap bulannya
  • Biaya Jabatan : Dapat nya jumlah 95.000 yaitu Gaji bruto di kali 5% (1.900.000 x 5%) perlu anda ingat Biaya. jabatan ini tidak boleh lebih dari 500.000 (tarif yang berlaku saat ini dari tahun 2009)
  • Jumlah Penghasilan Neto : Gaji Bruto - Biaya jabatan
  • Gaji Neto setahun : Jumlah Penghasilan Neto x 12 bln
  • PTKP Setahun : tarif Penghasilan tidak kena pajak, untuk saat ini tarif yang berlaku adalah
    TK = 1.320.000 Apa bila di setahun kan 1.320.000 x 12 = 15.840.000
    K/0 = 1.320.000 + 110.000 = 1.430.000 x 12 = 17.160.000
    K/1 = 1.320.000 + 110.000 + 110.000 = 1.540.000 x 12 = 18.480.000
    K/1=1.320.000+110.000+110.000+110.000 = 1.650.000 x 12 = 19.800.000
    K/2=1.320.000+110.000+110.000+110.000+110.000 = 1.760.000 x 12 = 21.120.000
    K/4 dan seterusnya tetap 21.120.000
  • PKP Setahun : Gaji setahun di kurang PTKP = PKP
  • PPh pasal 21 setahun : Penghasilan Kena Pajak (PKP) di kali dengan tarif Penghasilan kena pajak. Untuk Penghasilan kena pajak tarif yang di berlakukan pada saat ini dari tahun 2009 adalah
    Penghasilan di bawah 50.000.000 di kali dengan 5%
    50.000.000 s/d 250.000.000 x 15%
    250.000.000 s/d 500.000.000 x 25%
    Lebih dari 500.000.000 x 35%
    Dari contoh tabel di atas di kolom PKP setahun dengan angka 5.820.000 itu adalah di bawah dari Rp 50.000.000 berarti yang harus kita kali kan adalah dengan tarif 5%
  • PPh pasal 21 Perbulan: PPh pasal 21 setahun di bagi 12 bulan = PPh pasal 21 Perbulan (291.000 : 12 = 24.250)
  • Dari Perkiraan di atas dapat kita lihat pajak yang harus anda bayar atas nama andi adalah Rp 24.250


2. Pajak penghasilan di Indonesia
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu. Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General income tax yakni Ordonansi pajak pendapatan yang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi pajak pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonasi pajak perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan cuti pajak (tax holiday).

Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya reformasi pajak, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. saja.
Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya reformasi pajak di Indonesia