Pajak
penghasilan
a.
Pengertian Penghasilan
Pengertian
penghasilan sesuai pasal 4 ayat 1 undang-undang PPh adalah setiap tambahan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak
yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Pengertian
penghasilan menurut Prabowo adalah jumlah uang yang diterima atas usaha yang
dilakukan orang perorangan, badan dan bentuk usaha lainnya yang dapat digunakan
untuk aktivitas ekonomi seperti mengonsumsi dan/atau menimbun serta menambah
kekayaan.
Dari kedua
defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa penghasilan adalah setiap tambahan
ekonomis yang diperoleh oleh wajib pajak yang berada di Indonesia yang dapat
digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengonsumsi dan menambah kekayaan.
b. Pengertian Pajak Penghasilan
Pengertian Pajak Penghasian (PPh)
berdasarkan Undang-Undang No 17 Tahun 2000 adalah pajak yang dikenakan terhadap
subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam satu tahun
pajak atau suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang
berpenghasilan yang diperolehnya dalam tahun pajak untuk kepentingan negara dan
masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban yang
harus dilaksanakannya.
Pemungut Pajak Penghasilan
Berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 154/PMK.03/2007, pemungut PPh pasal 22 adalah:
1.
Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan
cukai, atas impor barang.
2.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara
Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat Daerah, yang melakukan
pembayaran atas pembelian barang.
3.
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja
negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada
angka 4.
4.
Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola
Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia
(Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat,
PT Krakatau Steel, PT Pertamnina, dan Bank-bank BUMN yang melakukan pembelian
barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN.
5.
Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha
industri semen, industri kertas, Industri baja, dan industri otomotif, yang
ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya
didalam negeri.
6.
Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas,
dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.
7.
Industri dan eksportir yang bergerak dalam
sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak atas pembelian
bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang
pengumpul.
Objek Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
menurut UU Perpajakan No 36 tahun 2008
Yang merupakan objek pemungutan
PPh pasal 22 adalah :
1.
Impor Barang.
2.
Pembayaran atas
pembelian barang yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Anggaran, Bendaharawan
Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Pemerintah daerah.
3.
Pembayaran atas
pembelian barang yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daearah yang dananya berasal dari dana APBN maupun APBD.
4.
Penjualan hasil
produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di
bidang industri semen, industri rokok, indusri kertas, industri baja dan
industri otomotif.
5.
Penjualan hasil
produksi yang dilakukan oleh pertamina dan badan usaha selain pertamina yang
bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas.
6.
Pembelian
bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor industri dan eksportir yang
bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan dari
pedagang pengumpu
Tidak
Termasuk Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22
Adapun
yang dikecualikan dari pemotongan PPh pasal 22 ditentukan sebagai berikut:
1.
Impor barang
dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang Pajak PenghasiIan.
2.
Barang yang
dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai.
3.
Barang
perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia
berdasarkan atas timbal balik.
4.
Barang untuk
keperluan badan internasional yang diakui dan terdaftar pada Pemerintah
Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang
paspor Indonesia
5.
Barang
kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan.
6.
Barang untuk
keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka
untuk umum.
7.
Barang untuk
keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
8.
Barang untuk
keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya.
9.
Peti atau
kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah.
10.
Barang
pindahan.
11.
Barang
pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman
sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan Pabean.
12.
Barang yang
diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk
kepentingan umum.
13.
Persenjataan,
amunisi, dan pelengkapan militer termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi
keperluan pertahanan dan keamanan negara.
14.
Barang dan
bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan
keamanan negara.
15.
Vaksin Polio
dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imuniasi Nasional (PIN).
16.
Buku-buku
pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.
17.
Kapal
laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang,
dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia
yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau
perusahaan penangkapan ikan nasional.
18.
Pesawat udara
dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan
manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan
oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional.
19.
Kereta api
dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta
prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia.
20.
Peralatan
yang digunakan untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara
Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia.
21.
Pembayaran
yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
22.
Pembayaran
untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan
benda-benda pos.
23.
Emas batangan
yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan
ekspor.
24.
Pembayaran/pencairan
dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
25.
Impor kembali
(re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor
kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk
keperluan perbaikan pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Sifat
pemungut Pajak Penghasilan
Pemungutan PPh pasal 22 dapat bersifat final dan tidak
final. Pemungutan pajak bersifat final dalam PPh pasal 22 artinya bahwa pajak
yang telah di bayar oleh Wajib Pajak melalui pemungutan oleh pihak lain dalam
tahun berjalan tersebut, tidak dapat dikreditkan pada total PPh yang terutang
pada akhir suatu tahun pada saat pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) tahunan
PPh.
Jenis
pajak penghasilan yang pemungutannya bersifat final adalah:
1.
PPh pasal 22
atas penyerahan hasil produksi industri rokok di dalam negeri.
2.
PPh pasal 22
atas penyerahan hasil produksi industri baja.
3.
PPh pasal 22
atas penyerahan hasil produksi Pertamina atau badan usaha lain yang sejenis
kepada penyalur/agen.
Jenis
pajak penghasilan yang pemungutannya bersifat tidak final adalah:
1.
PPh pasal 22
atas penyerahan hasil produksi Pertamin atau badan usaha lain yang sejenis
kepada pembeli lainnya (pabrikan).
2.
PPh pasal 22
atas penyerahan hasil industri semen.
3.
PPh pasal 22
atas penyerahan hasil industri kertas.
4.
PPh pasal 22
atas penyerahan hasil otomotif.
5.
PPh pasal 22
atas pembelian barang yang dibayar dengan dana dari Anggaran Pengeluaran
Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD).
6.
PPh pasal 22
atas pembelian barang yang dilakukan oleh instansi atau badan usaha tertenti
seperti BI (Bank Indonesia), BPPN, BULOG, PT Telkom, PT PLN, PT Garuda
Indonesia, PT Indosat, dan bank-bank BUMN yang melakuka pembelian barang yang
dananya bersumber baik dar APBN maupun non-APBN.
7.
PPh pasal 22
atas import barang.
8.
PPh pasal 22
atas pembelian bahan-bahan atau ekspor hasil industri oleh eksportir industri
perkebunan, perhutanan, pertanian, dan perikanan.
Subyek pajak
- Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
- Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang
sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka
pendapatan itu dikenakan pajak.
- Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi
kriteria:
- pembentukannya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- pembiayaannya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah;
- penerimaannya
dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
- pembukuannya
diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
- Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan
yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan
kegiatan di Indonesia.
Bukan subyek pajak penghasilan
- Badan
perwakilan negara asing.
- Pejabat
perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara
asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada
dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara
indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
- Organisasi
internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan
syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut
tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
- Pejabat
perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri
keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Obyek pajak
Objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib
pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Undang-undang Pajak Penghasilan
Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang
luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak darimanapun asalnya yang dapat
dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang
PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada
adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib
Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah
untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan
dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak.
Karena Undang-undang PPh menganut
pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima
atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar
pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun
Pajak suatu usaha
atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di
luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak
dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka
penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang
dikenakan tarif umum.
Tarif Pajak Penghasilan
Tarif Pajak Penghasilan secara umum diterapkan atas
Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan BUT untuk menghitung Pajak
Penghasilan terutang dalam satu tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak.
Tarif umum ini dibedakan untuk Wajib Pajak badan dalam negeri/BUT dan Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri.
Untuk keperluan penerapan tarif pajak atas Penghasilan Kena
Pajak, maka jumlah Penghasilan Kena Pajak tersebut dibulatkan dahulu ke bawah
ribuan rupiah penuh.Misalnya Penghasilan Kena Pajak
sebesar Rp120.324.900,00 untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi
Rp120.324.000,00.
Dengan Peraturan Pemerintah dapat diterapkan tarif pajak
tersendiri yang dapat bersifat final atas Penghasilan Tertentu yang dikenakan
Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.
Besarnya tarif khusus ini tidak boleh melebihi tarif umum pajak tertinggi
berdasarkan Pasal 17 Ayat (1).
Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas
pertimbangan kesederhanaan, keadilan dan pemerataan dalam pengenaan pajak.Berdasarkan
Undang-undang No.17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga Undang-undang Pajak
Penghasilan yang mulai berlaku untuk tahun pajak 2001, tarif pajak dibedakan
menjadi dua yaitu untuk Wajib Pajak Badan & BUT dan Wajib Pajak Orang
Pribadi. Selengkapnya tarif tersebut disajikan dalam bagian di bawah ini.
Tarif Pajak Badan Dalam Negeri Dan BUT
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak
Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai
berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif Pajak
|
Sampai
dengan Rp50.000.000,00
|
10%
|
Di atas
Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00
|
15%
|
Di atas
Rp100.000.000,00
|
30%
|
Tarif Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena
Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif Pajak
|
Sampai
dengan Rp25.000.000,00
|
5%
|
Di atas
Rp25.000.000,00 sampai dengan Rp50.000.000,00
|
10%
|
Di atas
Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00
|
15%
|
Di atas
Rp100.000.000,00 sampai dengan Rp200.000.000,00
|
25%
|
Di atas
Rp200.000.000,00
|
35%
|
Pembedaan
Tarif Pomotongan dan Pemungutan
Pembedaan tarif
pemotongan/pemungutan:
- Tarif bagi Wajib Pajak ber-NPWP
- Tarif bagi Wajib Pajak tidak
ber-NPWP
Pengenaan tarif yang lebih tinggi
bagi Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP tujuannya untuk mendorong Wajib Pajak
tersebut mendaftar dan memperoleh NPWP
Tarif Pemotongan/Pemungutan
- Untuk PPh Pasal 21, tarif lebih
tinggi 20% untuk karyawan yang tidak mempunyai NPWP
- Untuk PPh Pasal 22 dan Pasal
23, tarif lebih tinggi 100% untuk Wajib Pajak yang tidak mempunyai NPWP
Pelunasan Pajak
Penghasilan
Pajak
Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Undang-undang
Pajak Penghasilan menentukan pelunasan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak
dapat dilakukan melalui dua cara yaitu :
a.
|
Pelunasan Pajak Penghasilan
dalam tahun berjalan
Pajak Penghasilan yang
dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan merupakan
pelunasan/pembayaran atas perkiraan Pajak Penghasilan yang akan terutang
dalam suatu tahun pajak. Pelunasan pajak dalam tahun pajak berjalan dilakukan
oleh Wajib Pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain
maupun pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri, sebagai berikut :
1.
|
Pemungutan pajak oleh pihak
lain dilakukan dalam hal diperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) (PPh Pasal 4 ayat (2) Final);
|
2.
|
Pemungutan pajak oleh pihak
lain dilakukan dalam hal diperoleh penghasilan dari usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 (disebut Pajak Penghasilan Pasal 22);
|
3.
|
Pemungutan pajak oleh pihak
lain dilakukan dalam hal diperoleh penghasilan dari modal, jasa, dan
kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 (disebut Pajak
Penghasilan Pasal 23);
|
4.
|
Pembayaran pajak di luar
negeri atas penghasilan dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 (disebut Pajak Penghasilan Pasal 24);
|
Pelunasan Pajak Penghasilan
dalam tahun pajak berjalan merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan
terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan,
kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. Dengan
pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan pajak yang tepat
waktu, dan pertimbangan lainnya, maka Undang-undang
Pajak Penghasilan menentukan bahwa pelunasan pajak penghasilan dalam
tahun berjalan dapat bersifat final untuk jenis-jenis penghasilan tertentu.
Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak dapat dikreditkan dengan
Pajak Penghasilan yang terutang.
Dengan demikian, pemotongan
atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain mempunyai 2 (dua) macam
sifat, yaitu :
1.
|
Pajak Penghasilan yang telah
dipotong atau dipungut oleh pihak lain merupakan kredit pajak, artinya
dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun
pajak yang bersangkutan, yaitu tahun pajak yang sama dengan tahun
yang tercantum dalam bukti pemotongan atau pemungutan;
|
2.
|
Pemotongan atau pemungutan
pajak oleh pihak lain bersifat final, artinya tidak dapat dikreditkan
terhadap Pajak Penghasilan yang terutang.
|
Pemotongan atau pemungutan
Pajak Penghasilan oleh pihak lain pada dasarnya mempunyai 2 (dua) tujuan,
yaitu :
1.
|
Mengamankan penerimaan
negara berupa Pajak Penghasilan atas jenis-jenis penghasilan yang dikenakan
pemotongan atau pemungutan PPh berdasarkan ketentuan Pasal 22, Pasal 23,
Undang-undang Pajak Penghasilan;
|
2.
|
Untuk memperoleh
informasi/data yang berhubungan dengan Wajib Pajak, dalam rangka
menciptakan sistem informasi perpajakan yang memadai, guna mengawasi
pelaksanaan “self asessment system” sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan perpajakan.
|
Pelunasan Pajak Penghasilan
dalam tahun berjalan dilakukan oleh Wajib Pajak melalui pemotongan atau
pemungutan pajak oleh pihak lain dan melalui pembayaran pajak yang dilakukan
sendiri oleh Wajib Pajak. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan tersebut
merupakan angsuran pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan
yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan
yang pengenaan pajaknya bersifat final. (Pasal 20 Undang-undang
Pajak Penghasilan).
|
Kronologi perubahan undang-undang
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005
(sekaligus meniadakan pajak yang
ditanggung pemerintah).
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006.
Cara Perhitungan Pajak Penghasilan
Berikut langkah-langkah cara Perhitungan pajak karyawan (PPh
pasal 21):
Nama
|
Status
|
Gaji Bruto
|
Biaya Jabatan
|
Jumlah
|
Gaji Neto Setahun
|
PTKP setahun
|
PKP setahun
|
PPh 21 Setahun
|
PPh 21 Perbulan
|
Andi
|
TK
|
1.900.rb
|
95.000
|
1.805.rb
|
21.660.rb
|
15.840.rb
|
5.820.rb
|
291.000
|
24.250
|
Andi
|
K/0
|
1.900.rb
|
95.000
|
1.805.rb
|
21.660.rb
|
17.160.rb
|
4.500.rb
|
225.000
|
18.750
|
Andi
|
K/1
|
1.900.rb
|
95.000
|
1.805.rb
|
21.660.rb
|
18.480.rb
|
3.180.rb
|
159.000
|
13.250
|
Andi
|
K/2
|
1.900.rb
|
95.000
|
1.805.rb
|
21.660.rb
|
19.800.rb
|
1.860.rb
|
93.000
|
7.750
|
Andi
|
K/3
|
1.900.rb
|
95.000
|
1.805.rb
|
21.660.rb
|
21.120.rb
|
540.rb
|
27.000
|
2.250
|
Keterangan:
- Nama : Nama karyawan anda
- Status : Status karyawan anda
TK= Tidak kawin
K/0= Kawin dengan tanggungan anak 0
K/1 = Kawin dengan tanggungan anak 1
K/2 = Kawin dengan tanggungan anak 2
Dan seterusnya.......
- Gaji
Bruto : Gaji karyawan anda tiap
bulannya
- Biaya
Jabatan : Dapat nya jumlah 95.000
yaitu Gaji bruto di kali 5% (1.900.000 x 5%) perlu anda ingat Biaya.
jabatan ini tidak boleh lebih dari 500.000 (tarif yang berlaku saat ini
dari tahun 2009)
- Jumlah
Penghasilan Neto
: Gaji Bruto - Biaya jabatan
- Gaji
Neto setahun :
Jumlah Penghasilan Neto x 12 bln
- PTKP
Setahun : tarif Penghasilan tidak kena
pajak, untuk saat ini tarif yang berlaku adalah
TK = 1.320.000 Apa bila di setahun kan 1.320.000 x 12 = 15.840.000
K/0 = 1.320.000 + 110.000 = 1.430.000 x 12 = 17.160.000
K/1 = 1.320.000 + 110.000 + 110.000 = 1.540.000 x 12 = 18.480.000
K/1=1.320.000+110.000+110.000+110.000 = 1.650.000 x 12 = 19.800.000
K/2=1.320.000+110.000+110.000+110.000+110.000 = 1.760.000 x 12 = 21.120.000
K/4 dan seterusnya tetap 21.120.000
- PKP
Setahun : Gaji setahun di kurang PTKP
= PKP
- PPh
pasal 21 setahun
: Penghasilan Kena Pajak (PKP) di kali dengan tarif Penghasilan kena
pajak. Untuk Penghasilan kena pajak tarif yang di berlakukan pada saat ini
dari tahun 2009 adalah
Penghasilan di bawah 50.000.000 di kali dengan 5%
50.000.000 s/d 250.000.000 x 15%
250.000.000 s/d 500.000.000 x 25%
Lebih dari 500.000.000 x 35%
Dari contoh tabel di atas di kolom PKP
setahun dengan angka 5.820.000 itu adalah di bawah dari Rp
50.000.000 berarti yang harus kita kali kan adalah dengan tarif 5%
- PPh
pasal 21 Perbulan:
PPh pasal 21 setahun di bagi 12 bulan = PPh pasal 21 Perbulan (291.000 :
12 = 24.250)
- Dari Perkiraan di atas dapat
kita lihat pajak yang harus anda bayar atas nama andi adalah Rp 24.250
2. Pajak penghasilan di Indonesia
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa
terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau
bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk
pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak
perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan
kepada orang Eropa seperti "patent
duty". Sebaliknya business
tax atau bedrijfsbelasting
untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll
Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan
tanah.
Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak
Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa
memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya
penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak,
penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya
bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu.
Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang
selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General income tax yakni Ordonansi pajak pendapatan yang diperbaharui pada tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting
1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk
pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi pajak pendapatan ini
telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas
sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin
banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan
(ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonasi pajak perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang
dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak
Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan
penyempurnaan antara lain dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang
dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya
adalah dengan UU
No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs
1925., khususnya tentang ketentuan cuti
pajak (tax holiday).
Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan
tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya reformasi pajak, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya
Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di
Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan
1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932,
Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang
pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan
kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan
pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga
telah mengenal asas
sumber dan asas
domisili.
Dengan makin banyak
perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak
terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak
Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak
Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada
tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang
disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd.
saja.
Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali
mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU
No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak
Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan
"UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970
yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya reformasi pajak di Indonesia