Rabu, 13 Juni 2012

fiskal dan moneter =^_^=



BAB II

PEMBAHASAN



2.1 Definisi Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)

Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih menekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak.

Pada sektor rumah tangga(RTK), dimana rumah tangga melakukan pembelian barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan untuk konsumsi daan mendapatkan pendapatan berupa gaji, upah, sewa, dividen, bunga, dll dari perusahaan. kegiatan ekonomi dengan Pemerintah adalah rumah tangga menyetorkan sejumah uang sebagai pajak dan menerima penerimaan berupa gaji, bunga, penghasilan non balas jasa, dll. Sedangkan dengan Dunia Internasional adalah rumah tangga mengimpor barang dan jasa dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada sektor perusahaan, kegiatan ekonomi memiliki hubungan dengan rumah tangga yaitu perusahaan menghasilkan produk-produk barupa barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat dan memberikan penghasilah dan keuntungan kepada rumah tangga barupa gaji, deviden, sewa, upah, bunga. Sedangkan hubungan dengan Pemerintah, perusahaan akan membayar pajak kepada pemerintah dan menjual produk dan jasa kepada pemerintah. Sedangkan hubungan dengan Dunia Internasional, perusahaan melakukan impor atas produk barang maupun jasa dari luar negri.

Pada sektor pemerintah, kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan RumahTangga dimana pemerintah menerima setoran pajak rumah tangga untuk kebutuhan operasional, pembangunan. Dan untuk hubungan dengan Perusahaan, pemerintah mendapatkan penerimaan pajak dari pengusaha dan pemerintah membeli produk dari perusahaan berdasarkan dana anggaran belanja yang ada. Pada sektor Dunia Internasional / Luar Negeri, dimana Hubungan dengan RumahTangga adalah dunia internasional menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan rumah tangga. dan untuk Hubungan dengan Perusahaan, dunia internasional mengekspor produknya kepada bisnis-bisnis perusahaan.

Negara Indonesia yang sedang dilanda krisis ekonomi yang berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Dimana Tingginya tingkat krisis yang dialami negeri kita ini diindikasikan dengan laju inflasi yang cukup tinggi. Sebagai dampak atas inflasi, terjadi penurunan tabungan, berkurangnya investasi, semakin banyak modal yang dilarikan ke luar negeri, serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan untuk terus berlanjut dan memaksa pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan dalam mengatasinya. Kebijakan moneter dengan menerapkan target inflasi yang diambil oleh pemerintah mencerminkan arah ke sistem pasar. Artinya, orientasi pemerintah dalam mengelola perekonomian telah bergeser ke arah makin kecilnya peran pemerintah. Kondisi ekonomi negara Indonesia pada masa orde baru sudah pernah memanas. Pada saat itu pemerintah melakukan kebijakan moneter berupa contractionary monetary policy dan vice versa. Kebijakan tersebut cukup efektif dalam menjaga stabilisasi ekonomi dan ongkos yang harus dibayar relatif murah. Kebijakan moneter yang ditempuh saat ini berupa open market operation memerlukan ongkos yang mahal. Kondisi ini diperparah dengan adanya kendala yang lebih besar, yaitu pengaruh pasar keuangan internasional.

Pengaruh krisis ekonomi pada kebijakan fiskal, dimana Berdasarkan AD/ART pemerintah negara Indonesia, sebagaimana yang dipublikasikan oleh BI, untuk semester pertama tahun anggaran 2000 terlihat bahwa telah terjadi defisit anggaran yang disebabkan oleh peningkatan pengeluaran untuk subsidi dan pembayaran bunga hutang. Meski sebenarnya terjadi peningkatan penerimaan, namun ternyata besarnya peningkatan penerimaan masih jauh lebih rendah dibanding peningkatan pengeluaran. Dominasi kebijakan moneter dibanding kebijakan fiskal dan deregulasi sektor riil menyebabkan terjadinya kebijakan makro ekonomi yang tidak seimbang. Dari semua unsure APBN hanya pembelanjaan Negara atau pengeluaran dan Negara dan pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan fiscal. Contoh kebijakan fiscal adalah apabila perekonomian nasional mengalami inflasi,pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak.

Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

2.1.1 Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :

1. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.

Tujuan kebijakan fiscal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerntah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatn nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N). 

2.2 Definisi Kebijakan Moneter (monetary policy)

Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan. Dengan kata lain, Kebijakan moneter adalah proses di mana pemerintah, bank sentral, atau otoritas moneter suatu negara kontrol suplai (i) uang, (ii) ketersediaan uang, dan (iii) biaya uang atau suku bunga untuk mencapai menetapkan tujuan berorientasi pada pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.

Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil. Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang. Kebijakan moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.

Kebijakan Moneter bertumpu pada hubungan antara tingkat bunga dalam suatu perekonomian, yaitu harga di mana uang yang bisa dipinjam, dan pasokan total uang. Kebijakan moneter menggunakan berbagai alat untuk mengontrol salah satu atau kedua, untuk mempengaruhi hasil seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar dengan mata uang lainnya dan pengangguran. Dimana mata uang adalah di bawah monopoli penerbitan, atau dimana ada sistem diatur menerbitkan mata uang melalui bank-bank yang terkait dengan bank sentral, otoritas moneter memiliki kemampuan untuk mengubah jumlah uang beredar dan dengan demikian mempengaruhi tingkat suku bunga (untuk mencapai kebijakan gol). Adalah penting bagi para pembuat kebijakan untuk membuat pengumuman kredibel. Jika agen-agen swasta ( konsumen dan perusahaan ) percaya bahwa para pembuat kebijakan berkomitmen untuk menurunkan inflasi , mereka akan mengantisipasi harga di masa depan lebih rendah daripada yang (bagaimana ekspektasi yang terbentuk adalah hal yang sama sekali berbeda, misalnya membandingkan ekspektasi rasional dengan ekspektasi adaptif ).

Jika seorang karyawan berharap harga akan tinggi di masa depan, ia akan membuat kontrak upah dengan upah yang tinggi untuk mencocokkan harga-harga. Oleh karena itu, harapan upah yang lebih rendah tercermin dalam perilaku penetapan upah antara karyawan dan majikan (upah lebih rendah karena harga diharapkan lebih rendah) dan karena upah tersebut sebenarnya lebih rendah tidak ada demand pull inflasi karena karyawan menerima upah lebih kecil dan tidak ada biaya tekanan inflasi karena majikan membayar kurang dari upah. Untuk mencapai tingkat inflasi rendah, pembuat kebijakan harus memiliki pengumuman kredibel, yaitu agen-agen swasta harus percaya bahwa pengumuman ini akan mencerminkan kebijakan masa depan yang sebenarnya. Jika pengumuman tentang target inflasi yang rendah tingkat dibuat tetapi tidak diyakini oleh agen-agen swasta, penetapan upah akan mengantisipasi tingkat inflasi yang tinggi dan upah akan semakin tinggi dan inflasi akan meningkat. Sebuah upah yang tinggi akan meningkatkan permintaan konsumen ( demand pull inflation ) dan biaya sebuah perusahaan ( cost push inflation ), sehingga inflasi meningkat. Oleh karena itu, jika pengumuman seorang pembuat kebijakan tentang kebijakan moneter yang tidak dapat dipercaya, kebijakan tidak akan memiliki efek yang diinginkan.

Jika pembuat kebijakan percaya bahwa agen-agen swasta mengantisipasi inflasi yang rendah, mereka memiliki insentif untuk mengadopsi kebijakan moneter ekspansionis (dimana manfaat marjinal meningkatkan output ekonomi melampaui biaya marjinal inflasi), namun, dengan asumsi agen-agen swasta memiliki ekspektasi rasional , mereka tahu bahwa para pembuat kebijakan memiliki insentif ini. Oleh karena itu, agen-agen swasta tahu bahwa jika mereka mengantisipasi inflasi yang rendah, kebijakan ekspansionis akan diadopsi yang menyebabkan peningkatan inflasi. Akibatnya, (kecuali para pembuat kebijakan dapat membuat pengumuman inflasi yang rendah mereka kredibel), agen-agen swasta mengharapkan inflasi yang tinggi. antisipasi ini dipenuhi melalui harapan adaptif (perilaku upah-setting), maka, ada inflasi yang lebih tinggi (tanpa manfaat produksi meningkat). Oleh karena itu, kecuali pengumuman kredibel dapat dibuat, kebijakan moneter yang ekspansif akan gagal.

Pengumuman dapat dilakukan kredibel dalam berbagai cara. Salah satunya adalah untuk mendirikan bank sentral yang independen dengan target inflasi yang rendah (tapi tidak ada target output). Oleh karena itu, agen-agen swasta tahu bahwa inflasi akan rendah karena sudah diatur oleh badan independen. Bank-bank sentral dapat diberikan insentif untuk memenuhi target (misalnya, anggaran yang lebih besar, bonus upah untuk kepala bank) untuk meningkatkan reputasi dan sinyal komitmen yang kuat untuk tujuan kebijakan. Reputasi merupakan elemen penting dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Tapi gagasan reputasi tidak harus bingung dengan komitmen. Sementara bank sentral mungkin memiliki reputasi baik karena kinerja yang baik dalam melakukan kebijakan moneter, bank sentral yang sama tidak mungkin telah memilih bentuk komitmen tertentu (seperti penargetan rentang tertentu untuk inflasi). Reputasi memainkan peran penting dalam menentukan berapa pasar percaya pengumuman komitmen tertentu untuk tujuan kebijakan tetapi kedua konsep tidak boleh berasimilasi. Juga, perhatikan bahwa di bawah ekspektasi rasional, tidak perlu bagi pembuat kebijakan untuk telah menetapkan reputasi melalui tindakan kebijakan masa lalu; sebagai contoh, reputasi kepala bank sentral mungkin berasal sepenuhnya dari ideologi nya, latar belakang profesional , pernyataan publik, dll.

Bahkan telah berpendapat  bahwa untuk mencegah beberapa patologi terkait dengan inkonsistensi waktu pelaksanaan kebijakan moneter (inflasi berlebihan tertentu), kepala bank sentral harus memiliki kebencian yang lebih besar untuk inflasi dari sisa ekonomi pada rata-rata. Oleh karena itu reputasi bank sentral tertentu tidak perlu terikat pada kinerja masa lalu, melainkan untuk pengaturan kelembagaan tertentu bahwa pasar dapat digunakan untuk membentuk ekspektasi inflasi. Meskipun sering diskusi kredibilitas yang berkaitan dengan kebijakan moneter, makna yang tepat dari kredibilitas jarang didefinisikan. kurangnya kejelasan tersebut dapat berfungsi untuk memimpin kebijakan jauh dari apa yang diyakini paling menguntungkan. Misalnya, kemampuan untuk melayani kepentingan umum adalah salah satu definisi dari kredibilitas sering dikaitkan dengan bank sentral. Keandalan dengan mana suatu bank sentral janjinya juga merupakan definisi umum. Sementara semua orang setuju kemungkinan besar bank sentral tidak boleh berbohong kepada publik, perselisihan luas ada di bagaimana bank sentral dapat melayani kepentingan publik. Oleh karena itu, kurangnya definisi dapat mendorong orang untuk percaya bahwa mereka mendukung satu kebijakan tertentu kredibilitas ketika mereka benar-benar mendukung lain.
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
4. Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian
. Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar.
2.2.1 Jenis-jenis kebijakan moneter

Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1.    Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yangberedar.
2.   Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).

Dalam prakteknya, untuk menerapkan semua jenis kebijakan moneter alat utama yang digunakan adalah memodifikasi jumlah uang primer yang beredar. Otoritas moneter melakukan hal ini dengan membeli atau menjual aset keuangan (biasanya kewajiban pemerintah). Ini operasi pasar terbuka berubah baik jumlah uang atau likuiditas (jika bentuk cair kurang dari uang yang dibeli atau dijual). The multiplier effect perbankan cadangan fraksional memperkuat dampak dari tindakan. transaksi pasar Konstan oleh otoritas moneter memodifikasi pasokan mata uang dan ini dampak variabel pasar lain seperti suku bunga jangka pendek dan nilai tukar.

1.    Inflasi penargetan

Berdasarkan pendekatan kebijakan target adalah untuk menjaga inflasi , di bawah sebuah definisi tertentu seperti Indeks Harga Konsumen , dalam kisaran yang diinginkan. Target inflasi ini dicapai melalui penyesuaian berkala kepada Bank Sentral suku bunga target. Tingkat bunga yang digunakan adalah umumnya tingkat antar bank di mana bank meminjamkan kepada satu sama lain semalam untuk keperluan arus kas. Tergantung pada negara ini tingkat bunga tertentu yang bisa disebut uang bunga atau sesuatu yang serupa. Target suku bunga dipertahankan untuk jangka waktu tertentu menggunakan operasi pasar terbuka. Biasanya durasi bahwa target suku bunga dipertahankan konstan akan bervariasi antara bulan dan tahun. Target suku bunga biasanya ditinjau secara bulanan atau kuartalan oleh komite kebijakan.

Perubahan target suku bunga dibuat sebagai tanggapan terhadap berbagai indikator pasar dalam upaya untuk memperkirakan tren ekonomi dan dengan demikian pasar tetap pada jalur untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan. Sebagai contoh, satu metode sederhana inflation targeting disebut aturan Taylor menyesuaikan tingkat suku bunga sebagai respon terhadap perubahan dalam tingkat inflasi dan kesenjangan output . Aturan diusulkan oleh John B. Taylor dari Universitas Stanford . Penargetan inflasi pendekatan untuk pendekatan kebijakan moneter ini dipelopori di Selandia Baru. Hal ini saat ini digunakan di Australia , Brazil , Kanada , Chile , Kolombia , yang Republik Ceko , Selandia Baru , Norwegia , Islandia , Filipina , Polandia , Swedia , Afrika Selatan , Turki , dan Inggris .






2.   Harga Penargetan Tingkat

Harga penargetan tingkat mirip dengan inflation targeting kecuali bahwa pertumbuhan CPI dalam satu tahun atas atau di bawah target tingkat harga jangka panjang adalah offset pada tahun-tahun berikutnya sehingga tingkat harga yang ditargetkan tercapai dari waktu ke waktu, misalnya lima tahun, memberikan kepastian lebih lanjut tentang masa depan kenaikan harga kepada konsumen. Dalam inflation targeting apa yang terjadi pada tahun-tahun terakhir segera tidak diperhitungkan atau disesuaikan dalam tahun berjalan dan masa depan.

3.   Agregat Moneter

Pada 1980-an, beberapa negara menggunakan pendekatan yang didasarkan pada pertumbuhan konstan dalam jumlah uang beredar. Pendekatan ini disaring untuk memasukkan kelas yang berbeda dari uang dan kredit (M0, M1 dll). Di Amerika Serikat ini pendekatan kebijakan moneter dihentikan dengan pemilihan Alan Greenspan sebagai Ketua Fed.  Pendekatan ini juga kadang-kadang disebut monetarisme . Sementara kebijakan yang paling moneter berfokus pada sinyal harga satu bentuk atau lain, pendekatan ini difokuskan pada jumlah moneter.

4.   Nilai Tukar Tetap

Kebijakan ini didasarkan pada mempertahankan nilai tukar tetap dengan mata uang asing. Ada berbagai tingkat nilai tukar tetap, yang dapat peringkat dalam kaitannya dengan cara kaku kurs tetap adalah dengan bangsa jangkar. Di bawah sistem nilai fiat tetap, pemerintah daerah atau otoritas moneter menyatakan nilai tukar tetap tetapi tidak aktif membeli atau menjual mata uang untuk mempertahankan tingkat. Sebaliknya, tingkat dipaksakan oleh-konvertibilitas tindakan-tindakan non (misalnya kontrol modal , impor / lisensi ekspor, dll). Dalam hal ini ada tingkat pasar gelap tukar dimana perdagangan mata uang pada pasar / nilai tidak resmi.

Di bawah sistem fixed-konvertibilitas, mata uang dibeli dan dijual oleh bank sentral atau otoritas moneter setiap hari untuk mencapai nilai tukar target. Tingkat mungkin target tingkat tetap atau sebuah band tetap di mana nilai tukar dapat berfluktuasi sampai otoritas moneter campur tangan untuk membeli atau menjual yang diperlukan untuk mempertahankan nilai tukar dalam band. (Dalam kasus ini, nilai tukar tetap dengan tingkat tetap dapat dilihat sebagai kasus. khusus dari kurs tetap dengan band-band di mana band-band yang diatur ke nol.) Di bawah sistem nilai tukar tetap dikelola oleh suatu dewan mata uang setiap unit mata uang lokal harus didukung oleh unit mata uang asing (mengoreksi nilai tukar). Hal ini memastikan bahwa basis moneter lokal tidak akan mengembang tanpa didukung oleh mata uang keras dan menghilangkan segala kekhawatiran tentang berjalan di mata uang lokal dengan mereka yang ingin mengkonversi mata uang lokal ke mata uang (jangkar) keras.

Dalam dolarisasi , mata uang asing (biasanya dolar AS, maka istilah “dolarisasi”) digunakan secara bebas sebagai media pertukaran, baik secara eksklusif atau paralel dengan mata uang lokal. Hal ini dapat terjadi karena penduduk setempat telah kehilangan iman semua dalam mata uang lokal, atau mungkin juga kebijakan dari pemerintah (biasanya untuk mengendalikan inflasi dan impor kebijakan moneter kredibel).

Kebijakan ini sering turun tahta kebijakan moneter dengan otoritas moneter asing atau pemerintah sebagai kebijakan moneter di negara mengelompokkan harus menyelaraskan dengan kebijakan moneter dalam jangkar bangsa untuk mempertahankan nilai tukar. Tingkat dimana kebijakan moneter lokal menjadi tergantung pada jangkar bangsa tergantung pada faktor-faktor seperti mobilitas modal, keterbukaan, saluran kredit dan faktor ekonomi lainnya.

Bagi negara sedang berkembang sebenarnya sulit untuk menyesuaikan antara pendapatan negara yang sedang berkembang rendah sedangkan kebutuhan untuk menyediakan barang dan jasa serta membelanjai pengeluaran yang lainya lebih besar. Sedangkan kebijakan campuran adalah merupakan campuran daari dua kebijakan bdiatas yang di lakukan dengan cara mengubah pengeluaran, pengenaan pajak ataupun jumlah uang yang beredar secara bersama-sama.

2.3 Hubungan Antara Kebijakan Fiskal Dan Moneter

            Sebagaiman kita ketahui bahwa kebijakan moneter akan mempengaruhi pasar uang dan pasar surat berharga, pasar uang dan pasar surat berhargta itu akan menentukan tinggi rendahnya tingkat bunga, dan tingkat bunga akan memperngaruhi tingkat agregat. Kebijakan fiskal akan mempunyai pengaruh terhadap permintaan dan penawaran agregat, yang pada giliranya permintaan dan penawaran agregat itu akan menentukan keadaan di pasar barang dan jasa. Kondisi di pasar barang dan jasa ini akan menentukan tingkat harga dan kesempatan kerja akan menentukan tingkat pendapatan dan tingkat upah yang di harapkan. Keduanya akan memiliki umpan balik yaitu pendapatan akan memberikan umpan balik terhadap permintaan agregat dan upah harapan mempunyai umpan balik terhadap penawaran agregat dan pasar uang serta pasar surat berharga.


Kebijaksanaan moneter dan kebijaksanaan fiskal adalah dua kebijaksanaan yang merupakan alat utama bagi perencana ekonomi nasional untuk mengendalikan keseimbangan makro perekonomiannya. Keduanya  sangat erat berkaitan satu sama lain, sehingga dalam praktek yang sering dijumpai adalah kebijaksanaan fiskal yang juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi moneter atau kebijaksanaan moneter dengan konsekuensi-konsekuensi fiskal. Kebijaksanaan-kebijaksanaan semacam ini mungkin lebih cocok disebut ‘kebijaksanaan fiskal-moneter”.

Pembahasan ini diawali  mengenai hubungan antara APBN dan kebijaksanaan fiskal. Hal ini sejalan dengan pengertian umum bahwa kebijaksanaan fiskal adalah kebijaksanaan yang dilaksanakan lewat APBN. Dalam bagian selanjutnya kita akan meneliti apakah pengaruh dan suatu “kebijaksanaan fiskal”, yang dicerminkan oleh suatu struktur APBN tertentu, ter hadap perekonomian. Akhirnya kita akan mengambil sebuah contoh untuk menunjukkan bagaimana kita bisa memperkirakan pengaruh dan suatu kebijaksanaan fiskal dengan menggunakan aijabar sederhana.

Dari semua unsur APBN hanya pembelanjaan Negara atau pengeluaran dan Negara dan pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan fiscal. Contoh kebijakan fiscal adalah apabila perekonomian nasional mengalami inflasi,pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran.

2.4.1 APBN Dan Kebijaksanaan Fiskal

Pengaruh kebijaksanaan fiskal terhadap perekonomian bisa dianalisa dalam dua tahap yang berurutan, yaitu:
1)   Bagaimana suatu kebijaksanaan fiskal diterjemahkan menjadi suatu APBN
2)   Bagaimana APBN tersebut mempengaruhi perekonomian.

Dalam bagian ini kita akan mengaji tahap 1. Khususnya kita akan membahas makna dan suatu kebijaksanaan fiskal dilihat dari struktur pos-pos APBN. APBN mempunyai dua sisi, yaitu sisi yang mencatat pengeluaran dan sisi yang mencatat penerimaan. Sisi pengeluaran mencatat semua kegiatan pemerintah yang memerlukan uang untuk pelaknaannya. Dalam praktek macam pos-pos yang tercantum di sisi ini sangat beraneka ragam dan mencerminkan apa yang ingin dilaksanakan pemerintah dalam programnya. Untuk tujuan pembahasan dibagian lain terdiri dari tiga pos utama, yaitu:
1)   Pengeluaran pernerintah untuk pembelian barang/jasa
2)   pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawainya
3)   pengeluaran pemerintah untuk transfer payments yang ini liputi misalnya, pembayaran subsidi/bantuan Iangsung kepada berbagai golongan masyarakat, pembayaran pensiun, pembayaran bunga untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat.

Semua pos pada sisi pengeluaran tersebut memerlukan dana untuk melaksanakannya. Sisi penerimaan menunjukkan darimana dana yang diperlukan tersebut diperoleh. Ada empat sumber utama untuk memperoleh dana tersebut, yaitu:
·         pajak (berbagai macam)
·         pinjaman dan bank sentral
·         pinjaman dan masyarakat dalam negeri
·         pinjaman dan luar negeri.

Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat memengaruhi variabel-variabel berikut:
§  Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi
§  Pola persebaran sumber daya
§  Distribusi pendapatan.

Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
2.5        Analisis Kebijakan Fiskal Dan Moneter

2.5.1  Kebijakan Fiskal
Sektor publik dalam perekonomian campuran mempunyai fungsi utama antara lain; (1) fungsi alokasi yaitu mengatur alokasi faktor faktor produksi dalam menghasilkan barang publik dan privat, (2) fungsi distribusi yaitu mengatur pembagian pendapatan (dan kekayaan) untuk lebih menjamin pembagian pendapatan secara adil, (3) fungsi stabilisasi yaitu untuk menjamin tingkat pertumbuhan, mempertahankan stabilisasi harga, kesempatan kerja dan kurs. Untuk melaksanakan fungsi pemerintah tersebut dilakukan melalui kebijakan fiskal yaitu dengan pengaturan anggaran penerimaan (pajak) dan pengeluaran pemerintah.
Pembangunan ekonomi dinegara-negara berkembang peran sektor publik sangat penting, karena dalam pembangunan mengandalkan kepada peran sektor publik disamping sektor swasta. Sektor publik atau pemerintah diberikan peran sebagai “Agent of Development” (mempelopori, memfasilitasi, dan lain lain). Didalam melaksanakan perannya melakukan pembangunan diperlukan berbagai strategi yaitu strategi pertumbuhan, kesempatan kerja penuh, penghapusan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan pasar.
Dunia perminyakan Indonesia yang menyangkut masalah produksi dan pemakaian BBM (Migas Hilir) pada saat ini menghadapi suatu dilemma. Pemerintah tidak mampu menaikkan harga BBM untuk pemakaian dalam negeri sama dengan harga pasar untuk mengurangi subsidi yang sudah sangat membebani anggaran pemerintah. Rencana pemerintah yang dikemukakan Wapres Jusuf Kalla untuk menaikkan harga BBM sebesar 24% pada tahun 2008 adalah untuk menekan defisit APBN sebagai akibat kenaikan harga minyak mentah dunia.
Pada dasarnya subsidi harga BBM sangat merugikan negara. Pengurangan subsidi secara bertahap dan menghilangkannya dari APBN merupakan cara yang terbaik agar Indonesia dapat keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sebagian pakar ekonomi juga mendukung kebijakan pengurangan subsidi dengan argumentasi bahwa kebijakan subsidi yang dijalankan pemerintah terdahulu ditetapkan ketika Indonesia masih menjadi negara pengekspor minyak. Tetapi dengan posisi Indonesia saat ini yang telah menjadi negara pengimpor minyak, maka setiap kenaikan harga minyak mentah dunia akan langsung membebani neraca APBN. Menyadari bahwa subsidi yang ada saat ini sangat tidak berkeadilan karena lebih banyak dinikmati oleh kelompok mampu. Rakyat Indonesia sudah memahami bahwa subsidi harga BBM yang membunuh ini sangat merugikan negara disaat ini maupun pada masa yang akan datang. Kondisi ini harus segera diluruskan atau diselesaikan dengan baik secara tuntas. Kalau tidak akan menimbulkan pemasalahan terus menerus yang tidak pernah selesai sehingga Indonesia akan mengalami krisis yang berkepanjangan. Perlu pula digarisbawahi bahwa didalam menghadapi problema yang dilematis tersebut di atas, Pemerintah harus bijak dalam mengendalikan roda pemerintahan. Beberapa kebijakan fiskal yang dapat diambil pemerintah untuk mengatasi krisis energi dan pangan adalah sebagai berikut:
  1. Pajak BBM dan Subsidi BBM
Permasalahan utama perminyakan Indonesia sekarang ini justru terletak pada Migas Hilir. Sistim distribusi, pemasaran, penjualan (retail) dan pemakaian BBM sebagai produksi penting atau strategis belum “dikusai” dalam arti dikelola dengan baik. Jika dilaksanakan dengan baik dan terencana, target Pemerintah bukan hanya sekadar mengurangi subsidi pemakaian BBM saja, tetapi bagaimana usaha pemerintah untuk dapat melakukan “rasionalisasi” dan “optimalisasi” dalam rangka demokratisasi dunia Migas Indonesia untuk menghadapi era pasar bebas sekaligus mengantisipasi kekurangan sumber daya Migas di Indonesia pada masa sekarang dan mendatang. Dari sudut sifatnya, ada dua karakter yang menonjol dalam kegiatan usaha Migas Hilir yaitu; (1) usaha Migas Hilir yang merupakan kegiatan usaha bisnis yang dapat dikenakan Pajak BBM (dan ini merupakan porsi yang terbesar), serta (2) usaha Migas Hilir berupa BBM yang merupakan produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga memerlukan subsidi Pemerintah.
Pajak BBM sesungguhnya menjadi hak seluruh rakyat Indonesia, dan merupakan kewajiban bagi para pemakai BBM. Karena pemerintah sudah menyiapkan sarana dan prasarana untuk para pemakai BBM dan mereka (pemakai BBM) menimbulkan pencemaran lingkungan, yang dibiayai dan ditanggung seluruh rakyat Indonesia atau oleh negara. Sejumlah 160 negara besar didunia pola kebijakan pemasaran dan harga jual BBM dapat dibagi atas empat katagori model yaitu; (1) pola subsidi, (2) pola pajak rendah, (3) pola pajak sedang, dan (4) pola pajak BBM tinggi. Pola subsidi hanya dianut oleh negara penghasil Migas yang besar, seperti negara Timur Tengah dan lainnya termasuk Indonesia yang bukan penghasil Migas besar. Hampir 94% negara didunia ini telah menarik pajak pemakaian BBM, yang besarnya tergantung dari kondisi negara masing masing, dan lebih dari 60% telah menarik pajak yang cukup tinggi, lebih besar dari US $ 0.5 atau Rp 5.000 perliter BBM yang dipakai, berarti nilainya lebih tinggi dari pada harga pasar BBM itu sendiri. Pola pajak rendah atau pola Amerika yang dianut oleh hampir 18.7%, pajak BBM dibawah US $ 0.20 perliter. Alasannya bahwa negara Amerika mempunyai daratan yang sangat luas sehingga agak sulit membangun jaringan transportasi masal yang murah, efisien dan ekonomis. Karenanya, masyarakat lebih banyak menggunakan mobil pribadi. Pola pajak BBM tinggi atau pola Eropa, pajak lebih besar dari US $ 0.6 perliter yang dianut oleh lebih dari 20% negara didunia. Biasanya negara yang menganut pola pajak BBM tinggi mempunyai sistim transportasi umum masal yang baik, efisien, ekonomis, nyaman dan aman seperti; di Eropa dan Jepang. Paling banyak negara didunia ini menerapkan pola pajak BBM sedang, hampir 55%, dengan pajak BBM antara US $ 0.20 s/d US $ 0.60 perliter. Alasannya adalah mencari keseimbangan antara pemakaian BBM yang kena pajak untuk pemakaian mobil pribadi dengan kendaraan umum dengan pajak rendah (subsidi), sehingga dapat menarik pajak pemakaian BBM yang optimum. Pola ini merupakan pola pajak BBM yang paling wajar, adil dan demokratis. Bila Migas Hilir menerapkan konsep Pajak BBM dan subsidi selektif diterapkan dan dikelola dengan baik maka bukan memberikan beban kepada negara dengan pemberian subsidi harga BBM, akan tetapi dapat memberikan sumbangan melalui pajak pemakaian BBM yang cukup tinggi dengan nilai Rp. 250 triliun (US $ 25 milyard) pertahun (rutin, abadi), bahkan dapat lebih. (sesuai dengan kemajuan masing – masing daerah otonomi).
Pemakaian BBM di Indonesia yang hampir 60 juta KL atau 60 milyar liter pertahun, banyak sekali dana pajak dapat dihimpun. Jika pajak pemakaian BBM Rp 6.000 perliter atau harga BBM Rp 8.000 perliter, pemakaian BBM akan turun diperkirakan menjadi 50 juta KL dan yang dikenakan pajak 40 juta KL dan yang dapat subsidi 10 juta KL. Potensi dana yang dapat dihimpun mencapai US $ 25 milyar (hampir 250 triliun rupiah) per tahun secara terus menerus, abadi, walaupun Indonesia nantinya bukan pengekspor migas atau tidak menghasilkan migas lagi. Jumlahnya tergantung dari perkembangan dan pertumbuhan sistim transportasi dimasing masing daerah. Makin bagus sistim tranportasi dari suatu daerah (seperti di pulau jawa) makin banyak dana yang dapat dihimpun atau diperoleh, pembayaran subsidi BBM, diambil dari dana pajak BBM. Karena PERTAMINA belum mampu menyiapkan sistim untuk dapat mengontrol pemisahan dan penyampaian BBM yang disubsidi sampai ketangan yang berhak dan menarik pajak pemakaian BBM dari yang wajib membayar pajak, secara tepat, cepat, dan transparan maka kerugian negara mencapai 250 trilyun rupiah/per tahun.
Sesungguhnya Pemerintah dan PERTAMINA dapat mengurangi subsidi dan menarik pajak pemakaian BBM. Rakyat sudah memperlihatkan pengertian positif tentang subsidi yang membunuh. Mengurangi subsidi, akan menaikan harga BBM secara merata yang mengakibatkan kenaikan harga disegala sektor terutama bahan pokok, yang berakibat meningkatkan beban masyarakat. Jumlah BBM yang harus diberikan subsidi hanya sedikit, lebih kurang hanya sekitar 10% (sepuluh persen) dari total keseluruhan pemakaian BBM, selebihnya dapat dikenakan pajak.
Subsidi yang diberikan berupa subsidi harga yang hampir merata kepada seluruh pemakai. Pada saat sekarang pemerintah telah berusaha menaikan harga BBM, diharapkan bisa sampai sama dengan harga Internasional, dalam rangka mengurangi subsidi. Tetapi jika kondisi sistim distribusi, penjualan, pemasaran dan pemakaian BBM masih seperti sekarang ini (belum dapat memisahkan secara tepat mana BBM yang patut disubsidi dan yang dikenakan pajak) tentu saja upaya untuk mengurangi subsidi sangat sulit. Hidup tanpa subsidi adalah bentuk pengorbanan paling riil dari suatu bangsa bagi kemakmuran sendiri, selain itu pajak adalah kewajiban sekaligus hak berbangsa dan bernegara. Subsidi dan juga pajak merupakan salah satu upaya pemerintah mewujudkan keadilan dan kemakmuran masyarakat. Dalam prakteknya, subsidi dapat diberikan berupa pendidikan dan kesehatan seperti yang diterapkan sejumlah negara, yang merupakan investasi pemerintah terhadap rakyat.
Di Indonesia, subsidi terbesar diwujudkan dalam bentuk subsidi harga BBM, yang merupakan subsidi konsumtif. Pada subsidi BBM ini, pemerintah membayari sebahagian harga BBM yang dibeli masyarakat sehingga harga BBM menjadi murah dari nilai sebenarnya. Seharusnya subsidi BBM hanya diberikan kepada yang berhak saja secara terbatas dan harus dapat dikontrol dengan baik. Subsidi yang dapat diberikan baik berupa subsidi harga atau subsidi pajak maupun keduanya. Dana subsidi harus didapat dari sistim pemakaian BBM itu sendiri (mandiri) seperti dari pajak pemakaian BBM, tidak diambil dari dana penjualan minyak mentah atau dari pajak lainnya.
2.   Stimulus Fiskal Untuk Komoditas Pertanian
Mengantaisipasi kenaikan harga komoditas pertanian pemerintah memberlakukan kebijakan untuk menstabilkan harga komoditas-komoditas pertanian, pada awal Februari 2008 pemerintah memutuskan untuk menyiapkan stimulus fiskal sebesar Rp 13,7 triliun. Stimulus fiskal ini akan digunakan untuk subsidi, yang ketentuannya dituangkan dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan. Pemerintah memilih untuk melaksanakan subsidi dengan cara membebaskan atau menurunkan bea masuk dan menanggung pajak pertambahan nilai (PPN) komoditas-komoditas penting tersebut. Hal ini karena pemberian subsidi secara langsung pada masyarakat miskin dinilai memiliki banyak kendala teknis.
Pemberian stimulus fiskal oleh pemerintaah akan memberikan dampak positif pada penurunan harga pangan. Dengan adanya stimulus ini diharapkan rakyat Indonesia dapat memenuhi kebutuhannya akan komoditas pangan. Pemberian stimulus fiskal merupakan kebijakan fiskal jangka pendek yang tentunya harus diimbangi dengan peningkatan produktifitas pangan secara nasional. Karena kebijakan tersebut akan membebani keuangan Negara karena menyebabkan penurunan pendapatan Negara, maka pemerintah dapat memberlakukan kebijakan fiskal lainnya sehingga kebijakan tersebut dapat berjalan seiring tanpa membebani keuangan Negara. Pemberian subsidi pada sektor pertanian yang diberlakukan di Negara maju dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan sektor pertanian yang berujung pada ketahanan pangan dan menghindarkan Indonesia dari krisis pangan. Negara maju, seperti AS dan Uni Eropa, menyubsidi produk pertanian mereka secara berlebih untuk sejumlah komoditas pangan, terutama beras, jagung, kedelai, gula, gandum, daging sapi dan unggas, susu, serta komoditas hortikultura seperti sayur. Berbagai ragam subsidi tersebut tampak dari besaran angka produser support estimate/PSE, antara lain market price support, payments based on area planted/animal numbers/input use/input contraints.
Sebagai gambaran, pendapatan petani beras, gula, dan daging sapi di Negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang berasal dari bantuan pemerintah mencapai berturut-turut 78 persen, 51 persen, dan 33 persen. Itu artinya hanya 22 persen pendapatan petani beras di OECD yang berasal dari usaha mereka sendiri. Selebihnya disubsidi. Dampak kebijakan subsidi pangan yang besar dari negara maju akan memukul usaha tani di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kasus kedelai bisa menjadi contoh nyata, pada saat subsidi pangan dilakukan secara besar-besaran, membuat harga pangan di dunia rendah sehingga persaingan menjadi tidak adil. Hal itu akan berpengaruh negatif terhadap petani di negara berkembang seperti Indonesia. Konsekuensi dari hal tersebut adalah petani menjadi malas menjalankan usaha taninya sehingga lama-lama produksi komoditas pangan turun, sehingga pada akhirnya Indonesia akan bergantung sepenuhnya dari pangan impor. Dengan pemberian subsidi dalam sektor pertanian diharapkan produktifitas pertanian dan daya saing produk pertanian Indonesia dapat meningkat dan menghindarkan Indonesia dari krisis pangan.

2.5.2  Kebijakan Moneter
Karakteristik Indonesia sebagai “small and open economy”, menganut sistem devisa bebas dan ditambah dengan penerapan sistem nilai tukar mengambang (free floating) menyebabkan pergerakan nilai tukar di pasar menjadi sangat rentan oleh pengaruh faktorfaktor ekonomi dan non-ekonomi. Untuk mengurangi gejolak nilai tukar yang berlebihan, maka pelaksanaan intervensi menjadi sangat penting terutama untuk menjaga stabilitas nilai tukar agar dapat memberikan kepastian bagi dunia usaha, dan pada gilirannya dapat memberikan kemantapan bagi pengendalian perekonomian secara makro.

Dari sisi moneter kenaikan harga minyak akan meningkatkan tekanan terhadap suku bunga. Tekanan itu disebabkan prospek peningkatan inflasi domestik dan keharusan menjaga paritas suku bunga internasional. Peningkatan inflasi domestik akan terjadi akibat peningkatan biaya produksi dan risiko usaha. Pada saat yang sama, risiko inflasi juga terjadi pada negara-negara lain yang pada akhirnya juga menekan suku bunga domestik ke atas. Suku bunga domestik harus dinaikkan untuk mengimbangi kenaikan serupa di negara lain dan mencegah adanya pelarian modal dan depresiasi rupiah.

Kondisi itu jelas jauh dari ideal bagi perekonomian nasional. Kenaikan suku bunga lebih tinggi daripada asumsi rata-rata 7.5 persen yang ditetapkan pada APBN 2008 akan meningkatkan cicilan utang sehingga menambah beban belanja negara. Dalam hal ini, peningkatan suku bunga dasar (SBI 3 bulan) sebesar 1 persen dari asumsi rata-rata sebesar 7.5 persen akan meningkatkan belanja pembayaran utang domestik (defisit) kurang lebih Rp 2 triliun. Lebih jauh, kenaikan suku bunga domestik menyebabkan tersendatnya upaya menstimulasi sektor riil perekonomian. Tingginya suku bunga akan menyedot dana tersedia ke dalam aset-aset seperti SBI atau SUN, yang berarti lebih sedikit dana tersedia untuk investasi. Tingginya suku bunga juga akan menyebabkan masyarakat merealokasi pendapatan ke dalam bentuk aset-aset simpanan dan menahan tingkat konsumsi.

Lebih rendahnya tingkat investasi, konsumsi, dan pengikisan nilai aset yang terjadi akibat inflasi akan menyebabkan tertekannya permintaan agregat masyarakat. Itu berarti, akan hilang momentum pertumbuhan yang sesungguhnya ada saat ini. Bahkan, bila kejatuhan tingkat permintaan menjadi berlarut-larut, bisa terjadi resesi perekonomian sebagaimana yang terjadi pada pengujung 2005 hingga awal 2006. Untuk itu, pemerintah perlu segera menyiapkan strategi soft-landing perekonomian dari dampak harga minyak. Langkah awal yang harus dimulai adalah memperketat administrasi dan pengawasan atas tingkat lifting minyak, baik untuk pemain lokal maupun internasional. Langkah tersebut diperlukan untuk mengisolasi komposisi fiskal dari kenaikan harga minyak.

Sementara itu, penyesuaian suku bunga merupakan hal yang tidak terhindarkan. Apalagi bila kenaikan harga minyak terus berlanjut dan bertahan hingga tahun depan. Penyesuaian itu diperlukan untuk menyerap guncangan akibat ketidakseimbangan eksternal yang akan terjadi karena tingginya harga minyak yang perlu diperhatikan ialah jumlah besaran dan timing penyesuaian suku bunga. Pihak BI harus mengupayakan agar kenaikan suku bunga tidak terlalu tinggi. Begitu juga berdasar pengalaman kenaikan harga minyak sebelumnya, faktor timing adalah vital. Pengetatan moneter yang tergesa-gesa hanya memberikan sinyal salah kepada pasar yang bisa direspons pelaku pasar secara berlebihan.

2.6        Pengaruh krisis global terhadap Kebijakan Fiskal dan Moneter

Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter satu sama lain saling berpengaruh dalam kegiatan perekonomian. Masing-masing variabel kebijakan tersebut, kebijakan fiskal dipengaruhi oleh dua variabel utama, yaitu pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (goverment expenditure). Sedangkan variabel utama dalam kebijakan moneter, yaitu GDP, inflasi, kurs, dan suku bunga. Berbicara tentang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berkaitan erat dengan kegiatan perekonomian empat sektor, dimana sektor – sektor tersebut diantaranya sektor rumah tangga, sektor perusahaan, sektor pemerintah dan sektor dunia internasional/luar negeri. Ke-empat sektor ini memiliki hubungan interaksi masing-masing dalam menciptakan pendapatan dan pengeluaran.

Krisis global saat ini jauh lebih parah dari perkiraan semula dan suasana ketidakpastiannya sangat tinggi. Kepercayaan masyarakat dunia terhadap perekonomian menurun tajam. Akibatnya, gambaran ekonomi dunia terlihat makin suram dari hari ke hari walaupun semua bank sentral sudah menurunkan suku bunga sampai tingkat yang terendah. Tingkat bunga yang sedemikian rendahnya itu justru menyebabkan ruang untuk melakukan kebijakan moneter menjadi terbatas, sehingga pilihan yang tersedia hanya pada kebijakan fiscal. Menurut Mohamad Ikhsan,(http://majalah.tempointeraktif.com) negara-negara yang tergabung dalam G-20 dalam komunike bersamanya baru ini-ini sepakat mendorong lebih cepat ekspansi kebijakan fiskal minimal 2 persen dari produk domestik bruto untuk memulihkan perekonomian dunia. Meskipun secara teoretis kebijakan fiskal dapat berfungsi sebagai stimulus perekonomian, dalam pelaksanaannya sering kali terdapat hambatan. Hambatan ini dirasakan terutama di negara berkembang.

Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran negara. Disamping pengaruh dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara. Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara. Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara. Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (prepayment).

Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable). Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian . Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang impor, seperti halnya dengan sebagian besar pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi bila pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri, maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan inflasi.
.
Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah . Semakin besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas modal Pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang positif menunjukkan adanya cash inflow. Pada dasarnya, kebijaksanaan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas dalam perekonomian ini dilakukan oleh bank sentral, melalui berbagai instrumen , khususnya open market operations (OMOs).

Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral menjual atau membeli obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas dalam perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli sejumlah obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah, dan dilain pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam perekonomian, bank sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio bank sentral. Perlu difahami bahwa portofolio obligasi negara di bank sentral tersebut memberikan pendapatan kepada bank sentral berupa bunga obligasi. Dalam kasus Indonesia, sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki obligasi negara yang dapat dipakai untuk OMO. Walaupun pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi, yang dimulai pada masa krisis untuk rekapitalisasi bank-bank yang bermasalah, tetapi pasar sekunder bagi obligasi negara baru pada tahap awal dan volume transaksi jual beli di pasar sekunder tersebut masih sedikit. Selama ini Bank Indonesia masih mempergunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk melaksanakan OMOs. Disamping menimbulkan beban pada Bank Indonesia, karena BI harus membayar bunga SBI yang cukup tinggi, jangka waktu SBI juga sangat pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga instrumen ini sebenarnya kurang memadai untuk dipakai dalam OMOs.

2.7        Tujuan Kebijakan Fiskal Dan Moneter Bank Indonesia

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004  pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang  ditetapkan oleh Pemerintah.  Secara operasional, pengendalian  sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.  Bank Indonesia juga dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil.  Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi.  Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag). Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter.  Mekanisme ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.
Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan.  Apabila perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi.  Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat.  Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi.  Ini semua akan meningkatkan aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin bergairah.  Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan, Bank Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan inflasi.   Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi nilai tukar.  Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar.  Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri.  Dengan melebarnya selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan mendapatkan tingkat  pengembalian yang lebih tinggi.  Aliran modal masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah. Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan mendorong impor dan mengurangi ekspor.  Turunnya net ekspor ini akan berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.
Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi perekonomian makro melalui perubahan harga aset.  Kenaikan suku bunga akan menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi. Dampak perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi publik akan inflasi (jalur ekspektasi).  Penurunan suku bunga yang diperkirakan akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih tinggi.  Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada konsumen melalui kenaikan harga.
Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini bekerja memerlukan waktu (time lag).  Time lag masing-masing jalur bisa berbeda dengan yang lain.  Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat.  Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan tarnsmisi kebijakan moneter.   Apabila perbankan melihat risiko perekonomian cukup tinggi, respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI rate biasanya sangat lambat.  Juga, apabila perbankan sedang melakukan konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila prospek perekonomian sedang lesu.  Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan, perbankan, dan kondisi  sektor riil sangat berperan dalam menentukan efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter.
2.8 Efektifitas Kebijakan Fiscal Dan Moneter Dalam Mengantisipasi Krisis Energy Dan Pangan
Dari sisi fiskal, kenaikan harga minyak di atas asumsi USD 60 per barel akan mengubah komposisi APBN 2008 melalui dampaknya pada pendapatan maupun belanja negara. Pada sisi pendapatan, kenaikan harga minyak akan meningkatkan pendapatan production sharing (KPS) minyak dan PNBP gas serta pendapatan negara dari PPh Migas. Dari sisi belanja, kenaikan harga minyak akan meningkatkan belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil ke pemerintah daerah. Dalam hal ini, risiko fiskal dari kenaikan harga minyak secara umum tidak separah sebagaimana yang diprediksi sebagian pengamat. Kenaikan harga minyak global justru menguntungkan pemerintah karena akan terdapat peningkatan penerimaan bersih yang bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain.

Dari struktur APBN 2008, kenaikan harga minyak yang rata-rata USD 10 per barel akan meningkatkan surplus (penerimaan bersih) pemerintah Rp 3 triliun. Peningkatan penerimaan bersih itu dimungkinkan oleh adanya fiscal space yang lebih luas dalam struktur APBN sejak diambilnya kebijakan pemotongan subsidi BBM pada 2005. Namun, peningkatan surplus di atas hanya dimungkinkan bila target lifting minyak domestik, yang diasumsikan 1,034 juta barel per hari pada APBN 2008, terpenuhi. Bila terdapat penurunan lifting minyak domestik 50 ribu barel per hari, justru akan terdapat peningkatan defisit bersih antara Rp 10 triliun-Rp 11 triliun pada APBN 2008. Untuk itu, dari sisi fiskal, yang perlu diwaspadai adalah pengurangan jumlah lifting minyak domestik. Berdasar pengalaman tahun-tahun sebelumnya, penurunan asumsi hampir selalu terjadi. Sebagai contoh, ada selisih 50 ribu barel per hari dalam asumsi APBN Perubahan (APBNP) 2007 dibandingkan APBN 2007.

2.8.1 Kenaikan Harga Energi

Kenaikan harga energi terutama minyak bumi mempunyai pengaruh signifikan terhadap harga pangan dan dapat menyebabkan krisis pangan dunia. Membubungnya harga pangan dunia, sebagian merupakan akibat dari banyaknya penggunaan bahan pangan yang digunakan untuk bahan bakar organik (biofuel), yang dimaksudkan menjadi tren kesadaran lingkungan negara industri maju. Seperti jagung dan kelapa sawit, sebelumnya kedua pangan itu untuk konsumsi masyarakat dunia, namun saat ini banyak dijual untuk biofuel yang permintaannya tinggi. Produksi jagung di dunia dari 2004 - 2007, dalam catatan Bank Dunia, hampir seluruhnya digunakan untuk biofuel di AS.


2.8.2 Kenaikan Harga Pangan
Kenaikan harga pangan yang drastis akibat dari penggunaan produk pangan untuk pemenuhan energi global dapat terlihat dari fluktuasi harga pangan yang telah terjadi di Indonesia. Harga beberapa komoditas pangan penting terus merangkak naik sejak akhir tahun 2007 hingga kini. Kenaikan berkisar 18% hingga 60%. Lonjakan tertinggi terjadi pada komoditas minyak goreng, disusul kedelai, tepung terigu, dan beras. Harga minyak tanah pun sempat melonjak hingga 50%. Bahkan di beberapa daerah terjadi kelangkaan. Kondisi seperti ini tentunya sangat memukul masyarakat miskin dan juga mulai berdampak pada masyarakat ekonomi menengah. Kekurangan pasokan bahan pangan dunia sudah dapat dipastikan akan mendorong kenaikan harga pangan dunia, terlebih pada negara yang sangat tergantung pada impor. Melihat kenyataan ini, perlu dibangun konsensus global untuk memprioritaskan menjaga kestabilan harga pangan dunia.
Untuk mengantisipasi kemungkinan krisis pangan dan energi yang akan terjadi karena kenaikan harga energi global dan penggunaan komoditas pertanian untuk kebutuhan energi maka diperlukan langkah kongkrit dari pemerintah selaku pemegang kebijakan fiskal maupun bank Indonesia selaku pemegang kebijakan moneter di Indonesia. Kebijakan yang diambil harus dapat memperhatikan dampaknya terhadap perekonomian nasional serta kondisi riil yang dihadapi saat ini berkenaan dengan permintaan akan kebutuhan energy dan pangan secara global.