BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
Kebijakan
Fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan
dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan
dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain,
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan
kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan
dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk
mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih menekankan pada
pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal adalah
penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak.
Pada
sektor rumah tangga(RTK), dimana rumah tangga melakukan pembelian barang dan
jasa yang dihasilkan oleh perusahaan untuk konsumsi daan mendapatkan pendapatan
berupa gaji, upah, sewa, dividen, bunga, dll dari perusahaan. kegiatan ekonomi
dengan Pemerintah adalah rumah tangga menyetorkan sejumah uang sebagai pajak
dan menerima penerimaan berupa gaji, bunga, penghasilan non balas jasa, dll.
Sedangkan dengan Dunia Internasional adalah rumah tangga mengimpor barang dan
jasa dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada sektor perusahaan,
kegiatan ekonomi memiliki hubungan dengan rumah tangga yaitu perusahaan
menghasilkan produk-produk barupa barang dan jasa yang dikonsumsi oleh
masyarakat dan memberikan penghasilah dan keuntungan kepada rumah tangga barupa
gaji, deviden, sewa, upah, bunga. Sedangkan hubungan dengan Pemerintah,
perusahaan akan membayar pajak kepada pemerintah dan menjual produk dan jasa
kepada pemerintah. Sedangkan hubungan dengan Dunia Internasional, perusahaan
melakukan impor atas produk barang maupun jasa dari luar negri.
Pada
sektor pemerintah, kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan RumahTangga dimana
pemerintah menerima setoran pajak rumah tangga untuk kebutuhan operasional,
pembangunan. Dan untuk hubungan dengan Perusahaan, pemerintah mendapatkan
penerimaan pajak dari pengusaha dan pemerintah membeli produk dari perusahaan
berdasarkan dana anggaran belanja yang ada. Pada sektor Dunia Internasional /
Luar Negeri, dimana Hubungan dengan RumahTangga adalah dunia internasional
menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan rumah tangga. dan untuk Hubungan
dengan Perusahaan, dunia internasional mengekspor produknya kepada
bisnis-bisnis perusahaan.
Negara
Indonesia yang sedang dilanda krisis ekonomi yang berlangsung sejak beberapa
tahun yang lalu. Dimana Tingginya tingkat krisis yang dialami negeri kita ini
diindikasikan dengan laju inflasi yang cukup tinggi. Sebagai dampak atas
inflasi, terjadi penurunan tabungan, berkurangnya investasi, semakin banyak
modal yang dilarikan ke luar negeri, serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi.
Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan untuk terus berlanjut dan memaksa
pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan dalam mengatasinya. Kebijakan
moneter dengan menerapkan target inflasi yang diambil oleh pemerintah
mencerminkan arah ke sistem pasar. Artinya, orientasi pemerintah dalam
mengelola perekonomian telah bergeser ke arah makin kecilnya peran pemerintah. Kondisi
ekonomi negara Indonesia pada masa orde baru sudah pernah memanas. Pada saat
itu pemerintah melakukan kebijakan moneter berupa contractionary monetary
policy dan vice versa. Kebijakan tersebut cukup efektif dalam menjaga
stabilisasi ekonomi dan ongkos yang harus dibayar relatif murah. Kebijakan
moneter yang ditempuh saat ini berupa open market operation memerlukan ongkos
yang mahal. Kondisi ini diperparah dengan adanya kendala yang lebih besar,
yaitu pengaruh pasar keuangan internasional.
Pengaruh
krisis ekonomi pada kebijakan fiskal, dimana Berdasarkan AD/ART pemerintah
negara Indonesia, sebagaimana yang dipublikasikan oleh BI, untuk semester
pertama tahun anggaran 2000 terlihat bahwa telah terjadi defisit anggaran yang
disebabkan oleh peningkatan pengeluaran untuk subsidi dan pembayaran bunga
hutang. Meski sebenarnya terjadi peningkatan penerimaan, namun ternyata
besarnya peningkatan penerimaan masih jauh lebih rendah dibanding peningkatan
pengeluaran. Dominasi kebijakan moneter dibanding kebijakan fiskal dan
deregulasi sektor riil menyebabkan terjadinya kebijakan makro ekonomi yang tidak
seimbang. Dari semua unsure APBN hanya pembelanjaan Negara atau pengeluaran dan
Negara dan pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan fiscal.
Contoh kebijakan fiscal adalah apabila perekonomian nasional mengalami
inflasi,pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara
memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan
lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan
dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak.
Dari
sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada
ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan
meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya
kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output
industri secara umum.
2.1.1 Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :
1. Anggaran Defisit (Defisit Budget) /
Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran
lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian.
Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) /
Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya
lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus
dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas
(overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama
besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya
kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
Tujuan
kebijakan fiscal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini
dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi
pemerintah (G), jumlah transfer pemerntah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang
diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatn nasional (Y)
dan tingkat kesempatan kerja (N).
2.2
Definisi Kebijakan Moneter (monetary policy)
Kebijakan
Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat
berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang
beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan
harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan. Dengan kata
lain, Kebijakan moneter adalah proses di mana pemerintah, bank sentral, atau
otoritas moneter suatu negara kontrol suplai (i) uang, (ii) ketersediaan uang,
dan (iii) biaya uang atau suku bunga untuk mencapai menetapkan tujuan
berorientasi pada pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.
Kebijakan
moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai
keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga,
pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca
pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi
ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta
neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila kestabilan dalam
kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk
memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan
dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor
riil. Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan kestabilan
harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas Moneter
berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang
agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan kelancaran
dalam pasokan/distribusi barang. Kebijakan
moneter dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada
instrumen sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi
dipasar valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam
uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.
Kebijakan
Moneter bertumpu pada hubungan antara tingkat bunga dalam suatu perekonomian,
yaitu harga di mana uang yang bisa dipinjam, dan pasokan total uang. Kebijakan
moneter menggunakan berbagai alat untuk mengontrol salah satu atau kedua, untuk
mempengaruhi hasil seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar dengan
mata uang lainnya dan pengangguran. Dimana mata uang adalah di bawah monopoli
penerbitan, atau dimana ada sistem diatur menerbitkan mata uang melalui
bank-bank yang terkait dengan bank sentral, otoritas moneter memiliki kemampuan
untuk mengubah jumlah uang beredar dan dengan demikian mempengaruhi tingkat
suku bunga (untuk mencapai kebijakan gol). Adalah penting bagi para pembuat
kebijakan untuk membuat pengumuman kredibel. Jika agen-agen swasta ( konsumen
dan perusahaan ) percaya bahwa para pembuat kebijakan berkomitmen untuk
menurunkan inflasi , mereka akan mengantisipasi harga di masa depan lebih
rendah daripada yang (bagaimana ekspektasi yang terbentuk adalah hal yang sama
sekali berbeda, misalnya membandingkan ekspektasi rasional dengan ekspektasi
adaptif ).
Jika
seorang karyawan berharap harga akan tinggi di masa depan, ia akan membuat
kontrak upah dengan upah yang tinggi untuk mencocokkan harga-harga. Oleh karena
itu, harapan upah yang lebih rendah tercermin dalam perilaku penetapan upah
antara karyawan dan majikan (upah lebih rendah karena harga diharapkan lebih
rendah) dan karena upah tersebut sebenarnya lebih rendah tidak ada demand pull
inflasi karena karyawan menerima upah lebih kecil dan tidak ada biaya tekanan
inflasi karena majikan membayar kurang dari upah. Untuk mencapai tingkat
inflasi rendah, pembuat kebijakan harus memiliki pengumuman kredibel, yaitu
agen-agen swasta harus percaya bahwa pengumuman ini akan mencerminkan kebijakan
masa depan yang sebenarnya. Jika pengumuman tentang target inflasi yang rendah
tingkat dibuat tetapi tidak diyakini oleh agen-agen swasta, penetapan upah akan
mengantisipasi tingkat inflasi yang tinggi dan upah akan semakin tinggi dan
inflasi akan meningkat. Sebuah upah yang tinggi akan meningkatkan permintaan
konsumen ( demand pull inflation ) dan biaya sebuah perusahaan ( cost push
inflation ), sehingga inflasi meningkat. Oleh karena itu, jika pengumuman
seorang pembuat kebijakan tentang kebijakan moneter yang tidak dapat dipercaya,
kebijakan tidak akan memiliki efek yang diinginkan.
Jika
pembuat kebijakan percaya bahwa agen-agen swasta mengantisipasi inflasi yang rendah,
mereka memiliki insentif untuk mengadopsi kebijakan moneter ekspansionis
(dimana manfaat marjinal meningkatkan output ekonomi melampaui biaya marjinal
inflasi), namun, dengan asumsi agen-agen swasta memiliki ekspektasi rasional ,
mereka tahu bahwa para pembuat kebijakan memiliki insentif ini. Oleh karena
itu, agen-agen swasta tahu bahwa jika mereka mengantisipasi inflasi yang
rendah, kebijakan ekspansionis akan diadopsi yang menyebabkan peningkatan
inflasi. Akibatnya, (kecuali para pembuat kebijakan dapat membuat pengumuman
inflasi yang rendah mereka kredibel), agen-agen swasta mengharapkan inflasi
yang tinggi. antisipasi ini dipenuhi melalui harapan adaptif (perilaku
upah-setting), maka, ada inflasi yang lebih tinggi (tanpa manfaat produksi
meningkat). Oleh karena itu, kecuali pengumuman kredibel dapat dibuat,
kebijakan moneter yang ekspansif akan gagal.
Pengumuman
dapat dilakukan kredibel dalam berbagai cara. Salah satunya adalah untuk
mendirikan bank sentral yang independen dengan target inflasi yang rendah (tapi
tidak ada target output). Oleh karena itu, agen-agen swasta tahu bahwa inflasi
akan rendah karena sudah diatur oleh badan independen. Bank-bank sentral dapat
diberikan insentif untuk memenuhi target (misalnya, anggaran yang lebih besar,
bonus upah untuk kepala bank) untuk meningkatkan reputasi dan sinyal komitmen
yang kuat untuk tujuan kebijakan. Reputasi merupakan elemen penting dalam
pelaksanaan kebijakan moneter. Tapi gagasan reputasi tidak harus bingung dengan
komitmen. Sementara bank sentral mungkin memiliki reputasi baik karena kinerja
yang baik dalam melakukan kebijakan moneter, bank sentral yang sama tidak
mungkin telah memilih bentuk komitmen tertentu (seperti penargetan rentang
tertentu untuk inflasi). Reputasi memainkan peran penting dalam menentukan
berapa pasar percaya pengumuman komitmen tertentu untuk tujuan kebijakan tetapi
kedua konsep tidak boleh berasimilasi. Juga, perhatikan bahwa di bawah
ekspektasi rasional, tidak perlu bagi pembuat kebijakan untuk telah menetapkan
reputasi melalui tindakan kebijakan masa lalu; sebagai contoh, reputasi kepala
bank sentral mungkin berasal sepenuhnya dari ideologi nya, latar belakang
profesional , pernyataan publik, dll.
Bahkan
telah berpendapat bahwa untuk mencegah beberapa patologi terkait dengan
inkonsistensi waktu pelaksanaan kebijakan moneter (inflasi berlebihan
tertentu), kepala bank sentral harus memiliki kebencian yang lebih besar untuk
inflasi dari sisa ekonomi pada rata-rata. Oleh karena itu reputasi bank sentral
tertentu tidak perlu terikat pada kinerja masa lalu, melainkan untuk pengaturan
kelembagaan tertentu bahwa pasar dapat digunakan untuk membentuk ekspektasi
inflasi. Meskipun sering diskusi kredibilitas yang berkaitan dengan kebijakan
moneter, makna yang tepat dari kredibilitas jarang didefinisikan. kurangnya
kejelasan tersebut dapat berfungsi untuk memimpin kebijakan jauh dari apa yang
diyakini paling menguntungkan. Misalnya, kemampuan untuk melayani kepentingan
umum adalah salah satu definisi dari kredibilitas sering dikaitkan dengan bank
sentral. Keandalan dengan mana suatu bank sentral janjinya juga merupakan
definisi umum. Sementara semua orang setuju kemungkinan besar bank sentral
tidak boleh berbohong kepada publik, perselisihan luas ada di bagaimana bank
sentral dapat melayani kepentingan publik. Oleh karena itu, kurangnya definisi
dapat mendorong orang untuk percaya bahwa mereka mendukung satu kebijakan
tertentu kredibilitas ketika mereka benar-benar mendukung lain.
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan
moneter, yaitu antara lain :
1.
Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
2.
Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
3.
Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
4.
Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian. Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar.
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian. Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar.
2.2.1 Jenis-jenis
kebijakan moneter
Kebijakan
moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1.
Kebijakan Moneter
Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Adalah suatu kebijakan
dalam rangka menambah jumlah uang yangberedar.
2.
Kebijakan Moneter
Kontraktif / Monetary Contractive Policy
Adalah suatu kebijakan
dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan
uang ketat (tight money policy).
Dalam
prakteknya, untuk menerapkan semua jenis kebijakan moneter alat utama yang
digunakan adalah memodifikasi jumlah uang primer yang beredar. Otoritas moneter
melakukan hal ini dengan membeli atau menjual aset keuangan (biasanya kewajiban
pemerintah). Ini operasi pasar terbuka berubah baik jumlah uang atau likuiditas
(jika bentuk cair kurang dari uang yang dibeli atau dijual). The multiplier
effect perbankan cadangan fraksional memperkuat dampak dari tindakan. transaksi
pasar Konstan oleh otoritas moneter memodifikasi pasokan mata uang dan ini
dampak variabel pasar lain seperti suku bunga jangka pendek dan nilai tukar.
1.
Inflasi
penargetan
Berdasarkan
pendekatan kebijakan target adalah untuk menjaga inflasi , di bawah sebuah
definisi tertentu seperti Indeks Harga Konsumen , dalam kisaran yang
diinginkan. Target inflasi ini dicapai melalui penyesuaian berkala kepada Bank
Sentral suku bunga target. Tingkat bunga yang digunakan adalah umumnya tingkat
antar bank di mana bank meminjamkan kepada satu sama lain semalam untuk
keperluan arus kas. Tergantung pada negara ini tingkat bunga tertentu yang bisa
disebut uang bunga atau sesuatu yang serupa. Target suku bunga dipertahankan
untuk jangka waktu tertentu menggunakan operasi pasar terbuka. Biasanya durasi
bahwa target suku bunga dipertahankan konstan akan bervariasi antara bulan dan
tahun. Target suku bunga biasanya ditinjau secara bulanan atau kuartalan oleh
komite kebijakan.
Perubahan
target suku bunga dibuat sebagai tanggapan terhadap berbagai indikator pasar
dalam upaya untuk memperkirakan tren ekonomi dan dengan demikian pasar tetap
pada jalur untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan. Sebagai contoh, satu
metode sederhana inflation targeting disebut aturan Taylor menyesuaikan tingkat
suku bunga sebagai respon terhadap perubahan dalam tingkat inflasi dan
kesenjangan output . Aturan diusulkan oleh John B. Taylor dari Universitas
Stanford . Penargetan inflasi pendekatan untuk pendekatan kebijakan moneter ini
dipelopori di Selandia Baru. Hal ini saat ini digunakan di Australia , Brazil ,
Kanada , Chile , Kolombia , yang Republik Ceko , Selandia Baru , Norwegia ,
Islandia , Filipina , Polandia , Swedia , Afrika Selatan , Turki , dan Inggris
.
2.
Harga
Penargetan Tingkat
Harga
penargetan tingkat mirip dengan inflation targeting kecuali bahwa pertumbuhan
CPI dalam satu tahun atas atau di bawah target tingkat harga jangka panjang
adalah offset pada tahun-tahun berikutnya sehingga tingkat harga yang
ditargetkan tercapai dari waktu ke waktu, misalnya lima tahun, memberikan
kepastian lebih lanjut tentang masa depan kenaikan harga kepada konsumen. Dalam
inflation targeting apa yang terjadi pada tahun-tahun terakhir segera tidak
diperhitungkan atau disesuaikan dalam tahun berjalan dan masa depan.
3.
Agregat
Moneter
Pada
1980-an, beberapa negara menggunakan pendekatan yang didasarkan pada
pertumbuhan konstan dalam jumlah uang beredar. Pendekatan ini disaring untuk
memasukkan kelas yang berbeda dari uang dan kredit (M0, M1 dll). Di Amerika
Serikat ini pendekatan kebijakan moneter dihentikan dengan pemilihan Alan
Greenspan sebagai Ketua Fed. Pendekatan ini juga kadang-kadang disebut
monetarisme . Sementara kebijakan yang paling moneter berfokus pada sinyal
harga satu bentuk atau lain, pendekatan ini difokuskan pada jumlah moneter.
4.
Nilai
Tukar Tetap
Kebijakan
ini didasarkan pada mempertahankan nilai tukar tetap dengan mata uang asing.
Ada berbagai tingkat nilai tukar tetap, yang dapat peringkat dalam kaitannya
dengan cara kaku kurs tetap adalah dengan bangsa jangkar. Di bawah sistem nilai
fiat tetap, pemerintah daerah atau otoritas moneter menyatakan nilai tukar
tetap tetapi tidak aktif membeli atau menjual mata uang untuk mempertahankan
tingkat. Sebaliknya, tingkat dipaksakan oleh-konvertibilitas tindakan-tindakan
non (misalnya kontrol modal , impor / lisensi ekspor, dll). Dalam hal ini ada
tingkat pasar gelap tukar dimana perdagangan mata uang pada pasar / nilai tidak
resmi.
Di
bawah sistem fixed-konvertibilitas, mata uang dibeli dan dijual oleh bank
sentral atau otoritas moneter setiap hari untuk mencapai nilai tukar target.
Tingkat mungkin target tingkat tetap atau sebuah band tetap di mana nilai tukar
dapat berfluktuasi sampai otoritas moneter campur tangan untuk membeli atau
menjual yang diperlukan untuk mempertahankan nilai tukar dalam band. (Dalam
kasus ini, nilai tukar tetap dengan tingkat tetap dapat dilihat sebagai kasus. khusus
dari kurs tetap dengan band-band di mana band-band yang diatur ke nol.) Di
bawah sistem nilai tukar tetap dikelola oleh suatu dewan mata uang setiap unit
mata uang lokal harus didukung oleh unit mata uang asing (mengoreksi nilai
tukar). Hal ini memastikan bahwa basis moneter lokal tidak akan mengembang
tanpa didukung oleh mata uang keras dan menghilangkan segala kekhawatiran
tentang berjalan di mata uang lokal dengan mereka yang ingin mengkonversi mata
uang lokal ke mata uang (jangkar) keras.
Dalam
dolarisasi , mata uang asing (biasanya dolar AS, maka istilah “dolarisasi”)
digunakan secara bebas sebagai media pertukaran, baik secara eksklusif atau
paralel dengan mata uang lokal. Hal ini dapat terjadi karena penduduk setempat
telah kehilangan iman semua dalam mata uang lokal, atau mungkin juga kebijakan
dari pemerintah (biasanya untuk mengendalikan inflasi dan impor kebijakan
moneter kredibel).
Kebijakan
ini sering turun tahta kebijakan moneter dengan otoritas moneter asing atau
pemerintah sebagai kebijakan moneter di negara mengelompokkan harus menyelaraskan
dengan kebijakan moneter dalam jangkar bangsa untuk mempertahankan nilai tukar.
Tingkat dimana kebijakan moneter lokal menjadi tergantung pada jangkar bangsa
tergantung pada faktor-faktor seperti mobilitas modal, keterbukaan, saluran
kredit dan faktor ekonomi lainnya.
Bagi
negara sedang berkembang sebenarnya sulit untuk menyesuaikan antara pendapatan
negara yang sedang berkembang rendah sedangkan kebutuhan untuk menyediakan
barang dan jasa serta membelanjai pengeluaran yang lainya lebih besar.
Sedangkan kebijakan campuran adalah merupakan campuran daari dua kebijakan
bdiatas yang di lakukan dengan cara mengubah pengeluaran, pengenaan pajak
ataupun jumlah uang yang beredar secara bersama-sama.
2.3 Hubungan Antara Kebijakan Fiskal Dan
Moneter
Sebagaiman kita ketahui bahwa kebijakan
moneter akan mempengaruhi pasar uang dan pasar surat berharga, pasar uang dan
pasar surat berhargta itu akan menentukan tinggi rendahnya tingkat bunga, dan
tingkat bunga akan memperngaruhi tingkat agregat. Kebijakan fiskal akan
mempunyai pengaruh terhadap permintaan dan penawaran agregat, yang pada
giliranya permintaan dan penawaran agregat itu akan menentukan keadaan di pasar
barang dan jasa. Kondisi di pasar barang dan jasa ini akan menentukan tingkat harga
dan kesempatan kerja akan menentukan tingkat pendapatan dan tingkat upah yang
di harapkan. Keduanya akan memiliki umpan balik yaitu pendapatan akan
memberikan umpan balik terhadap permintaan agregat dan upah harapan mempunyai
umpan balik terhadap penawaran agregat dan pasar uang serta pasar surat
berharga.
Kebijaksanaan moneter dan kebijaksanaan
fiskal adalah dua kebijaksanaan yang merupakan alat utama bagi perencana
ekonomi nasional untuk mengendalikan keseimbangan makro perekonomiannya.
Keduanya sangat erat berkaitan satu sama lain, sehingga dalam
praktek yang sering dijumpai adalah kebijaksanaan fiskal yang juga mempunyai
konsekuensi-konsekuensi moneter atau kebijaksanaan moneter dengan
konsekuensi-konsekuensi fiskal. Kebijaksanaan-kebijaksanaan semacam ini mungkin
lebih cocok disebut ‘kebijaksanaan fiskal-moneter”.
Pembahasan ini diawali mengenai
hubungan antara APBN dan kebijaksanaan fiskal. Hal ini sejalan dengan
pengertian umum bahwa kebijaksanaan fiskal adalah kebijaksanaan yang
dilaksanakan lewat APBN. Dalam bagian selanjutnya kita akan meneliti apakah
pengaruh dan suatu “kebijaksanaan fiskal”, yang dicerminkan oleh suatu struktur
APBN tertentu, ter hadap perekonomian. Akhirnya kita akan mengambil sebuah
contoh untuk menunjukkan bagaimana kita bisa memperkirakan pengaruh dan suatu
kebijaksanaan fiskal dengan menggunakan aijabar sederhana.
Dari semua unsur APBN hanya pembelanjaan
Negara atau pengeluaran dan Negara dan pajak yang dapat diatur oleh pemerintah
dengan kebijakan fiscal. Contoh kebijakan fiscal adalah apabila perekonomian
nasional mengalami inflasi,pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan
masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar
tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran.
2.4.1 APBN
Dan Kebijaksanaan Fiskal
Pengaruh kebijaksanaan fiskal terhadap
perekonomian bisa dianalisa dalam dua tahap yang berurutan, yaitu:
1)
Bagaimana suatu kebijaksanaan fiskal
diterjemahkan menjadi suatu APBN
2)
Bagaimana APBN tersebut mempengaruhi
perekonomian.
Dalam bagian ini kita akan mengaji tahap 1.
Khususnya kita akan membahas makna dan suatu kebijaksanaan fiskal dilihat dari
struktur pos-pos APBN. APBN mempunyai dua sisi, yaitu sisi yang mencatat
pengeluaran dan sisi yang mencatat penerimaan. Sisi pengeluaran mencatat semua
kegiatan pemerintah yang memerlukan uang untuk pelaknaannya. Dalam praktek
macam pos-pos yang tercantum di sisi ini sangat beraneka ragam dan mencerminkan
apa yang ingin dilaksanakan pemerintah dalam programnya. Untuk tujuan
pembahasan dibagian lain terdiri dari tiga pos utama, yaitu:
1)
Pengeluaran pernerintah untuk pembelian
barang/jasa
2)
pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawainya
3)
pengeluaran pemerintah untuk transfer
payments yang ini liputi misalnya, pembayaran subsidi/bantuan Iangsung kepada
berbagai golongan masyarakat, pembayaran pensiun, pembayaran bunga untuk
pinjaman pemerintah kepada masyarakat.
Semua pos pada sisi pengeluaran tersebut
memerlukan dana untuk melaksanakannya. Sisi penerimaan menunjukkan darimana
dana yang diperlukan tersebut diperoleh. Ada empat sumber utama untuk
memperoleh dana tersebut, yaitu:
·
pajak (berbagai macam)
·
pinjaman dan bank sentral
·
pinjaman dan masyarakat dalam negeri
·
pinjaman dan luar negeri.
Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang
dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan
pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan
moneter, yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol
tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal
adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan
pengeluaran pemerintah dapat memengaruhi variabel-variabel berikut:
§ Permintaan
agregat dan tingkat aktivitas ekonomi
§ Pola
persebaran sumber daya
§ Distribusi
pendapatan.
Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter
untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada
pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal adalah
penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari
sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada
ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan
meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya
kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output
industri secara umum.
2.5
Analisis Kebijakan Fiskal
Dan Moneter
2.5.1 Kebijakan Fiskal
Sektor publik dalam perekonomian campuran mempunyai fungsi utama
antara lain; (1) fungsi alokasi yaitu mengatur alokasi faktor faktor produksi
dalam menghasilkan barang publik dan privat, (2) fungsi distribusi yaitu
mengatur pembagian pendapatan (dan kekayaan) untuk lebih menjamin pembagian
pendapatan secara adil, (3) fungsi stabilisasi yaitu untuk menjamin tingkat
pertumbuhan, mempertahankan stabilisasi harga, kesempatan kerja dan kurs. Untuk
melaksanakan fungsi pemerintah tersebut dilakukan melalui kebijakan fiskal
yaitu dengan pengaturan anggaran penerimaan (pajak) dan pengeluaran pemerintah.
Pembangunan ekonomi dinegara-negara berkembang peran sektor publik
sangat penting, karena dalam pembangunan mengandalkan kepada peran sektor
publik disamping sektor swasta. Sektor publik atau pemerintah diberikan peran
sebagai “Agent of Development” (mempelopori, memfasilitasi, dan lain lain).
Didalam melaksanakan perannya melakukan pembangunan diperlukan berbagai
strategi yaitu strategi pertumbuhan, kesempatan kerja penuh, penghapusan
kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan pasar.
Dunia perminyakan Indonesia yang menyangkut masalah produksi dan
pemakaian BBM (Migas Hilir) pada saat ini menghadapi suatu dilemma. Pemerintah
tidak mampu menaikkan harga BBM untuk pemakaian dalam negeri sama dengan harga
pasar untuk mengurangi subsidi yang sudah sangat membebani anggaran pemerintah.
Rencana pemerintah yang dikemukakan Wapres Jusuf Kalla untuk menaikkan harga
BBM sebesar 24% pada tahun 2008 adalah untuk menekan defisit APBN sebagai
akibat kenaikan harga minyak mentah dunia.
Pada dasarnya subsidi harga BBM sangat merugikan negara.
Pengurangan subsidi secara bertahap dan menghilangkannya dari
APBN merupakan cara yang terbaik agar Indonesia dapat keluar dari krisis
ekonomi yang berkepanjangan. Sebagian pakar ekonomi juga mendukung kebijakan
pengurangan subsidi dengan argumentasi bahwa kebijakan subsidi yang dijalankan
pemerintah terdahulu ditetapkan ketika Indonesia masih menjadi negara
pengekspor minyak. Tetapi dengan posisi Indonesia saat ini yang telah menjadi
negara pengimpor minyak, maka setiap kenaikan harga minyak mentah dunia akan
langsung membebani neraca APBN. Menyadari bahwa subsidi yang ada saat ini sangat
tidak berkeadilan karena lebih banyak dinikmati oleh kelompok mampu. Rakyat
Indonesia sudah memahami bahwa subsidi harga BBM yang membunuh ini sangat
merugikan negara disaat ini maupun pada masa yang akan datang. Kondisi ini
harus segera diluruskan atau diselesaikan dengan baik secara tuntas. Kalau
tidak akan menimbulkan pemasalahan terus menerus yang tidak pernah selesai
sehingga Indonesia akan mengalami krisis yang berkepanjangan. Perlu pula
digarisbawahi bahwa didalam menghadapi problema yang dilematis tersebut di
atas, Pemerintah harus bijak dalam mengendalikan roda pemerintahan. Beberapa
kebijakan fiskal yang dapat diambil pemerintah untuk mengatasi krisis energi
dan pangan adalah sebagai berikut:
- Pajak BBM dan Subsidi BBM
Permasalahan utama perminyakan Indonesia sekarang ini justru
terletak pada Migas Hilir. Sistim distribusi, pemasaran, penjualan (retail) dan
pemakaian BBM sebagai produksi penting atau strategis belum “dikusai” dalam
arti dikelola dengan baik. Jika dilaksanakan dengan baik dan terencana, target
Pemerintah bukan hanya sekadar mengurangi subsidi pemakaian BBM saja, tetapi
bagaimana usaha pemerintah untuk dapat melakukan “rasionalisasi” dan
“optimalisasi” dalam rangka demokratisasi dunia Migas Indonesia untuk
menghadapi era pasar bebas sekaligus mengantisipasi kekurangan sumber daya
Migas di Indonesia pada masa sekarang dan mendatang. Dari sudut sifatnya, ada
dua karakter yang menonjol dalam kegiatan usaha Migas Hilir yaitu; (1) usaha
Migas Hilir yang merupakan kegiatan usaha bisnis yang dapat dikenakan Pajak BBM
(dan ini merupakan porsi yang terbesar), serta (2) usaha Migas Hilir berupa BBM
yang merupakan produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga
memerlukan subsidi Pemerintah.
Pajak BBM sesungguhnya menjadi hak seluruh rakyat Indonesia, dan
merupakan kewajiban bagi para pemakai BBM. Karena pemerintah sudah menyiapkan
sarana dan prasarana untuk para pemakai BBM dan mereka (pemakai BBM)
menimbulkan pencemaran lingkungan, yang dibiayai dan ditanggung seluruh rakyat Indonesia
atau oleh negara. Sejumlah 160 negara besar didunia pola kebijakan pemasaran
dan harga jual BBM dapat dibagi atas empat katagori model yaitu; (1) pola
subsidi, (2) pola pajak rendah, (3) pola pajak sedang, dan (4) pola pajak BBM
tinggi. Pola subsidi hanya dianut oleh negara penghasil Migas yang besar,
seperti negara Timur Tengah dan lainnya termasuk Indonesia yang bukan penghasil
Migas besar. Hampir 94% negara didunia ini telah menarik pajak pemakaian BBM,
yang besarnya tergantung dari kondisi negara masing masing, dan lebih dari 60%
telah menarik pajak yang cukup tinggi, lebih besar dari US $ 0.5 atau Rp 5.000
perliter BBM yang dipakai, berarti nilainya lebih tinggi dari pada harga pasar
BBM itu sendiri. Pola pajak rendah atau pola Amerika yang dianut oleh hampir
18.7%, pajak BBM dibawah US $ 0.20 perliter. Alasannya bahwa negara Amerika
mempunyai daratan yang sangat luas sehingga agak sulit membangun jaringan
transportasi masal yang murah, efisien dan ekonomis. Karenanya, masyarakat
lebih banyak menggunakan mobil pribadi. Pola pajak BBM tinggi atau pola Eropa,
pajak lebih besar dari US $ 0.6 perliter yang dianut oleh lebih dari 20% negara
didunia. Biasanya negara yang menganut pola pajak BBM tinggi mempunyai sistim
transportasi umum masal yang baik, efisien, ekonomis, nyaman dan aman seperti;
di Eropa dan Jepang. Paling banyak negara didunia ini menerapkan pola pajak BBM
sedang, hampir 55%, dengan pajak BBM antara US $ 0.20 s/d US $ 0.60 perliter.
Alasannya adalah mencari keseimbangan antara pemakaian BBM yang kena pajak
untuk pemakaian mobil pribadi dengan kendaraan umum dengan pajak rendah
(subsidi), sehingga dapat menarik pajak pemakaian BBM yang optimum. Pola ini
merupakan pola pajak BBM yang paling wajar, adil dan demokratis. Bila Migas
Hilir menerapkan konsep Pajak BBM dan subsidi selektif diterapkan dan dikelola
dengan baik maka bukan memberikan beban kepada negara dengan pemberian subsidi
harga BBM, akan tetapi dapat memberikan sumbangan melalui pajak pemakaian BBM
yang cukup tinggi dengan nilai Rp. 250 triliun (US $ 25 milyard) pertahun
(rutin, abadi), bahkan dapat lebih. (sesuai dengan kemajuan masing – masing
daerah otonomi).
Pemakaian BBM di Indonesia yang hampir 60 juta KL atau 60 milyar
liter pertahun, banyak sekali dana pajak dapat dihimpun. Jika pajak pemakaian
BBM Rp 6.000 perliter atau harga BBM Rp 8.000 perliter, pemakaian BBM akan
turun diperkirakan menjadi 50 juta KL dan yang dikenakan pajak 40 juta KL dan
yang dapat subsidi 10 juta KL. Potensi dana yang dapat dihimpun mencapai US $ 25
milyar (hampir 250 triliun rupiah) per tahun secara terus menerus, abadi,
walaupun Indonesia nantinya bukan pengekspor migas atau tidak menghasilkan
migas lagi. Jumlahnya tergantung dari perkembangan dan pertumbuhan sistim
transportasi dimasing masing daerah. Makin bagus sistim tranportasi dari suatu
daerah (seperti di pulau jawa) makin banyak dana yang dapat dihimpun atau
diperoleh, pembayaran subsidi BBM, diambil dari dana pajak BBM. Karena
PERTAMINA belum mampu menyiapkan sistim untuk dapat mengontrol pemisahan dan
penyampaian BBM yang disubsidi sampai ketangan yang berhak dan menarik pajak
pemakaian BBM dari yang wajib membayar pajak, secara tepat, cepat, dan
transparan maka kerugian negara mencapai 250 trilyun rupiah/per tahun.
Sesungguhnya Pemerintah dan PERTAMINA dapat mengurangi subsidi dan
menarik pajak pemakaian BBM. Rakyat sudah memperlihatkan pengertian positif
tentang subsidi yang membunuh. Mengurangi subsidi, akan menaikan harga BBM
secara merata yang mengakibatkan kenaikan harga disegala sektor terutama bahan
pokok, yang berakibat meningkatkan beban masyarakat. Jumlah BBM yang harus
diberikan subsidi hanya sedikit, lebih kurang hanya sekitar 10% (sepuluh
persen) dari total keseluruhan pemakaian BBM, selebihnya dapat dikenakan pajak.
Subsidi yang diberikan berupa subsidi harga yang hampir merata
kepada seluruh pemakai. Pada saat sekarang pemerintah telah berusaha menaikan
harga BBM, diharapkan bisa sampai sama dengan harga Internasional, dalam rangka
mengurangi subsidi. Tetapi jika kondisi sistim distribusi, penjualan, pemasaran
dan pemakaian BBM masih seperti sekarang ini (belum dapat memisahkan secara
tepat mana BBM yang patut disubsidi dan yang dikenakan pajak) tentu saja upaya
untuk mengurangi subsidi sangat sulit. Hidup tanpa subsidi adalah bentuk
pengorbanan paling riil dari suatu bangsa bagi kemakmuran sendiri, selain itu
pajak adalah kewajiban sekaligus hak berbangsa dan bernegara. Subsidi dan juga
pajak merupakan salah satu upaya pemerintah mewujudkan keadilan dan kemakmuran
masyarakat. Dalam prakteknya, subsidi dapat diberikan berupa pendidikan dan
kesehatan seperti yang diterapkan sejumlah negara, yang merupakan investasi
pemerintah terhadap rakyat.
Di Indonesia, subsidi terbesar diwujudkan dalam bentuk subsidi
harga BBM, yang merupakan subsidi konsumtif. Pada subsidi BBM ini, pemerintah
membayari sebahagian harga BBM yang dibeli masyarakat sehingga harga BBM
menjadi murah dari nilai sebenarnya. Seharusnya subsidi BBM hanya diberikan
kepada yang berhak saja secara terbatas dan harus dapat dikontrol dengan baik.
Subsidi yang dapat diberikan baik berupa subsidi harga atau subsidi pajak
maupun keduanya. Dana subsidi harus didapat dari sistim pemakaian BBM itu
sendiri (mandiri) seperti dari pajak pemakaian BBM, tidak diambil dari dana
penjualan minyak mentah atau dari pajak lainnya.
2.
Stimulus Fiskal Untuk
Komoditas Pertanian
Mengantaisipasi kenaikan harga komoditas pertanian pemerintah
memberlakukan kebijakan untuk menstabilkan harga komoditas-komoditas pertanian,
pada awal Februari 2008 pemerintah memutuskan untuk menyiapkan stimulus fiskal
sebesar Rp 13,7 triliun. Stimulus fiskal ini akan digunakan untuk subsidi, yang
ketentuannya dituangkan dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan. Pemerintah
memilih untuk melaksanakan subsidi dengan cara membebaskan atau menurunkan bea
masuk dan menanggung pajak pertambahan nilai (PPN) komoditas-komoditas penting
tersebut. Hal ini karena pemberian subsidi secara langsung pada masyarakat
miskin dinilai memiliki banyak kendala teknis.
Pemberian stimulus fiskal oleh pemerintaah akan memberikan dampak
positif pada penurunan harga pangan. Dengan adanya stimulus ini diharapkan
rakyat Indonesia dapat memenuhi kebutuhannya akan komoditas pangan. Pemberian
stimulus fiskal merupakan kebijakan fiskal jangka pendek yang tentunya harus
diimbangi dengan peningkatan produktifitas pangan secara nasional. Karena
kebijakan tersebut akan membebani keuangan Negara karena menyebabkan penurunan
pendapatan Negara, maka pemerintah dapat memberlakukan kebijakan fiskal lainnya
sehingga kebijakan tersebut dapat berjalan seiring tanpa membebani keuangan
Negara. Pemberian subsidi pada sektor pertanian yang diberlakukan di Negara
maju dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan sektor pertanian yang
berujung pada ketahanan pangan dan menghindarkan Indonesia dari krisis pangan.
Negara maju, seperti AS dan Uni Eropa, menyubsidi produk pertanian mereka
secara berlebih untuk sejumlah komoditas pangan, terutama beras, jagung,
kedelai, gula, gandum, daging sapi dan unggas, susu, serta komoditas
hortikultura seperti sayur. Berbagai ragam subsidi tersebut tampak dari besaran
angka produser support estimate/PSE, antara lain market price support, payments
based on area planted/animal numbers/input use/input contraints.
Sebagai gambaran, pendapatan petani beras, gula, dan daging sapi
di Negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang
berasal dari bantuan pemerintah mencapai berturut-turut 78 persen, 51 persen,
dan 33 persen. Itu artinya hanya 22 persen pendapatan petani beras di OECD yang
berasal dari usaha mereka sendiri. Selebihnya disubsidi. Dampak kebijakan
subsidi pangan yang besar dari negara maju akan memukul usaha tani di negara
berkembang, termasuk Indonesia. Kasus kedelai bisa menjadi contoh nyata, pada
saat subsidi pangan dilakukan secara besar-besaran, membuat harga pangan di
dunia rendah sehingga persaingan menjadi tidak adil. Hal itu akan berpengaruh
negatif terhadap petani di negara berkembang seperti Indonesia. Konsekuensi
dari hal tersebut adalah petani menjadi malas menjalankan usaha taninya
sehingga lama-lama produksi komoditas pangan turun, sehingga pada akhirnya
Indonesia akan bergantung sepenuhnya dari pangan impor. Dengan pemberian
subsidi dalam sektor pertanian diharapkan produktifitas pertanian dan daya
saing produk pertanian Indonesia dapat meningkat dan menghindarkan Indonesia
dari krisis pangan.
2.5.2 Kebijakan Moneter
Karakteristik Indonesia sebagai “small and open economy”,
menganut sistem devisa bebas dan ditambah dengan penerapan sistem nilai tukar
mengambang (free floating) menyebabkan pergerakan nilai tukar di pasar
menjadi sangat rentan oleh pengaruh faktorfaktor ekonomi dan non-ekonomi. Untuk
mengurangi gejolak nilai tukar yang berlebihan, maka pelaksanaan intervensi
menjadi sangat penting terutama untuk menjaga stabilitas nilai tukar agar dapat
memberikan kepastian bagi dunia usaha, dan pada gilirannya dapat memberikan
kemantapan bagi pengendalian perekonomian secara makro.
Dari sisi moneter kenaikan harga minyak akan meningkatkan tekanan terhadap
suku bunga. Tekanan itu disebabkan prospek peningkatan inflasi domestik dan
keharusan menjaga paritas suku bunga internasional. Peningkatan inflasi
domestik akan terjadi akibat peningkatan biaya produksi dan risiko usaha. Pada
saat yang sama, risiko inflasi juga terjadi pada negara-negara lain yang pada
akhirnya juga menekan suku bunga domestik ke atas. Suku bunga domestik harus
dinaikkan untuk mengimbangi kenaikan serupa di negara lain dan mencegah adanya
pelarian modal dan depresiasi rupiah.
Kondisi itu jelas jauh dari ideal bagi perekonomian nasional.
Kenaikan suku bunga lebih tinggi daripada asumsi rata-rata 7.5 persen yang
ditetapkan pada APBN 2008 akan meningkatkan cicilan utang sehingga menambah
beban belanja negara. Dalam hal ini, peningkatan suku bunga dasar (SBI 3 bulan)
sebesar 1 persen dari asumsi rata-rata sebesar 7.5 persen akan meningkatkan
belanja pembayaran utang domestik (defisit) kurang lebih Rp 2 triliun. Lebih
jauh, kenaikan suku bunga domestik menyebabkan tersendatnya upaya menstimulasi
sektor riil perekonomian. Tingginya suku bunga akan menyedot dana tersedia ke
dalam aset-aset seperti SBI atau SUN, yang berarti lebih sedikit dana tersedia
untuk investasi. Tingginya suku bunga juga akan menyebabkan masyarakat
merealokasi pendapatan ke dalam bentuk aset-aset simpanan dan menahan tingkat
konsumsi.
Lebih rendahnya tingkat investasi, konsumsi, dan pengikisan nilai
aset yang terjadi akibat inflasi akan menyebabkan tertekannya permintaan
agregat masyarakat. Itu berarti, akan hilang momentum pertumbuhan yang
sesungguhnya ada saat ini. Bahkan, bila kejatuhan tingkat permintaan menjadi
berlarut-larut, bisa terjadi resesi perekonomian sebagaimana yang terjadi pada
pengujung 2005 hingga awal 2006. Untuk itu, pemerintah perlu segera menyiapkan
strategi soft-landing perekonomian dari dampak harga minyak. Langkah awal yang
harus dimulai adalah memperketat administrasi dan pengawasan atas tingkat
lifting minyak, baik untuk pemain lokal maupun internasional. Langkah tersebut
diperlukan untuk mengisolasi komposisi fiskal dari kenaikan harga minyak.
Sementara itu, penyesuaian suku bunga merupakan hal yang tidak
terhindarkan. Apalagi bila kenaikan harga minyak terus berlanjut dan bertahan
hingga tahun depan. Penyesuaian itu diperlukan untuk menyerap guncangan akibat
ketidakseimbangan eksternal yang akan terjadi karena tingginya harga minyak
yang perlu diperhatikan ialah jumlah besaran dan timing penyesuaian suku bunga.
Pihak BI harus mengupayakan agar kenaikan suku bunga tidak terlalu tinggi. Begitu
juga berdasar pengalaman kenaikan harga minyak sebelumnya, faktor timing adalah
vital. Pengetatan moneter yang tergesa-gesa hanya memberikan sinyal salah
kepada pasar yang bisa direspons pelaku pasar secara berlebihan.
2.6
Pengaruh krisis global terhadap Kebijakan Fiskal dan
Moneter
Kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter satu sama lain saling berpengaruh dalam kegiatan
perekonomian. Masing-masing
variabel kebijakan tersebut, kebijakan fiskal dipengaruhi oleh dua variabel
utama, yaitu pajak (tax) dan pengeluaran pemerintah (goverment expenditure).
Sedangkan variabel utama dalam kebijakan moneter, yaitu GDP, inflasi, kurs, dan
suku bunga. Berbicara tentang kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berkaitan
erat dengan kegiatan perekonomian empat sektor, dimana sektor – sektor tersebut
diantaranya sektor rumah tangga, sektor perusahaan, sektor pemerintah dan
sektor dunia internasional/luar negeri. Ke-empat sektor ini memiliki hubungan
interaksi masing-masing
dalam menciptakan pendapatan dan pengeluaran.
Krisis global saat ini jauh lebih parah dari perkiraan
semula dan suasana ketidakpastiannya sangat tinggi. Kepercayaan masyarakat
dunia terhadap perekonomian menurun tajam. Akibatnya, gambaran ekonomi dunia
terlihat makin suram dari hari ke hari walaupun semua bank sentral sudah
menurunkan suku bunga sampai tingkat yang terendah. Tingkat bunga yang
sedemikian rendahnya itu justru menyebabkan ruang untuk melakukan kebijakan
moneter menjadi terbatas, sehingga pilihan yang tersedia hanya pada kebijakan
fiscal. Menurut Mohamad
Ikhsan,(http://majalah.tempointeraktif.com) negara-negara
yang tergabung dalam G-20 dalam komunike bersamanya baru ini-ini sepakat
mendorong lebih cepat ekspansi kebijakan fiskal minimal 2 persen dari produk
domestik bruto untuk memulihkan perekonomian dunia. Meskipun secara teoretis kebijakan fiskal dapat
berfungsi sebagai stimulus perekonomian, dalam pelaksanaannya sering kali
terdapat hambatan. Hambatan ini dirasakan terutama di negara berkembang.
Kebijakan
fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran
negara. Disamping pengaruh dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran
(defisit atau surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis sumber
penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara. Di dalam perhitungan defisit atau surplus
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis
penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis
pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya
yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan
yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan
kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta
pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara. Di lain sisi,
yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi
pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha
milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri
tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara. Dari perhitungan
penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya surplus
atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan
menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada
besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan
sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (prepayment).
Dalam hal terjadi defisit, maka defisit
tersebut dapat dibayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing)
atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk
pinjaman perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara
(government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa
penerbitan obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam
negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang
lebih tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah menjaga agar hutang
luar negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan
negara (sustainable). Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek
ekspansi dalam perekonomian . Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman
luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar
negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang impor, seperti halnya
dengan sebagian besar pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi bila pinjaman
luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam
negeri, maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut
akan menimbulkan tekanan inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan
penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan
menimbulkan tekanan inflasi.
.
Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan
sumber dari pinjaman luar negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran
khususnya pada lalu lintas modal pemerintah . Semakin besar jumlah pinjaman
luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas modal Pemerintah cenderung positif.
Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat dari besarnya nilai lalu lintas
moneter. Nilai lalu lintas moneter yang positif menunjukkan adanya cash inflow.
Pada dasarnya, kebijaksanaan moneter ditujukan agar likuiditas dalam
perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan
transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Umumnya pelaksanaan
pengaturan jumlah likuiditas dalam perekonomian ini dilakukan oleh bank
sentral, melalui berbagai instrumen , khususnya open market operations (OMOs).
Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank
sentral menjual atau membeli obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas
dalam perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli
sejumlah obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah,
dan dilain pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam
perekonomian, bank sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang berada
dalam portofolio bank sentral. Perlu difahami bahwa portofolio obligasi negara
di bank sentral tersebut memberikan pendapatan kepada bank sentral berupa bunga
obligasi. Dalam kasus Indonesia, sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki
obligasi negara yang dapat dipakai untuk OMO. Walaupun pemerintah Indonesia
telah menerbitkan obligasi, yang dimulai pada masa krisis untuk rekapitalisasi
bank-bank yang bermasalah, tetapi pasar sekunder bagi obligasi negara baru pada
tahap awal dan volume transaksi jual beli di pasar sekunder tersebut masih
sedikit. Selama ini Bank Indonesia masih mempergunakan Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) untuk melaksanakan OMOs. Disamping menimbulkan beban pada Bank
Indonesia, karena BI harus membayar bunga SBI yang cukup tinggi, jangka waktu
SBI juga sangat pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga instrumen ini
sebenarnya kurang memadai untuk dipakai dalam OMOs.
2.7
Tujuan Kebijakan Fiskal Dan Moneter Bank
Indonesia
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 3 tahun 2004
pasal 7 tentang Bank Indonesia. Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai
rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang
tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 2005 Bank
Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi sebagai sasaran
utama kebijakan moneter (Inflation
Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang
mengambang (free floating).
Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan
sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan
nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan
untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan
kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti uang
beredar atau suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi
yang ditetapkan oleh Pemerintah. Secara operasional,
pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan
instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik
rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan
wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan. Bank Indonesia juga
dapat melakukan cara-cara pengendalian moneter berdasarkan Prinsip Syariah.
Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga
dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari
tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank
Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan
utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir
pencapaian inflasi. Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate
sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan
memerlukan waktu (time lag).
Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut
sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme
ini menggambarkan tindakan Bank Indonesia melalui perubahan-perubahan instrumen
moneter dan target operasionalnya mempengaruhi berbagai variable ekonomi dan
keuangan sebelum akhirnya berpengaruh ke tujuan akhir inflasi. Mekanisme
tersebut terjadi melalui interaksi antara Bank Sentral, perbankan dan sektor
keuangan, serta sektor riil. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui
berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar,
jalur harga aset, dan jalur ekspektasi.
Pada jalur suku bunga, perubahan BI Rate
mempengaruhi suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. Apabila
perekonomian sedang mengalami kelesuan, Bank Indonesia dapat menggunakan
kebijakan moneter yang ekspansif melalui penurunan suku bunga untuk mendorong
aktifitas ekonomi. Penurunan suku bunga BI Rate menurunkan suku bunga
kredit sehingga permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan
meningkat. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal
perusahaan untuk melakukan investasi. Ini semua akan meningkatkan
aktifitas konsumsi dan investasi sehingga aktifitas perekonomian semakin
bergairah. Sebaliknya, apabila tekanan inflasi mengalami kenaikan,
Bank Indonesia merespon dengan menaikkan suku bunga BI Rate untuk mengerem
aktifitas perekonomian yang terlalu cepat sehingga mengurangi tekanan
inflasi. Perubahan suku bunga BI Rate juga dapat mempengaruhi
nilai tukar. Mekanisme ini sering disebut jalur nilai tukar.
Kenaikan BI Rate, sebagai contoh, akan mendorong kenaikan selisih antara suku
bunga di Indonesia dengan suku bunga luar negeri. Dengan melebarnya
selisih suku bunga tersebut mendorong investor asing untuk menanamkan modal ke
dalam instrument-instrumen keuangan di Indonesia seperti SBI karena mereka akan
mendapatkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Aliran modal
masuk asing ini pada gilirannya akan mendorong apresiasi nilai tukar Rupiah.
Apresiasi Rupiah mengakibatkan harga barang impor lebih murah dan barang ekspor
kita di luar negeri menjadi lebih mahal atau kurang kompetitif sehingga akan
mendorong impor dan mengurangi ekspor. Turunnya net ekspor ini akan
berdampak pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kegiatan perekonomian.
Perubahan suku bunga BI Rate mempengaruhi
perekonomian makro melalui perubahan harga aset. Kenaikan suku bunga akan
menurunkan harga aset seperti saham dan obligasi sehingga mengurangi kekayaan
individu dan perusahaan yang pada gilirannya mengurangi kemampuan mereka untuk
melakukan kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan investasi. Dampak
perubahan suku bunga kepada kegiatan ekonomi juga mempengaruhi ekspektasi
publik akan inflasi (jalur ekspektasi). Penurunan suku bunga yang diperkirakan
akan mendorong aktifitas ekonomi dan pada akhirnya inflasi mendorong pekerja
untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dengan meminta upah yang lebih
tinggi. Upah ini pada akhirnya akan dibebankan oleh produsen kepada
konsumen melalui kenaikan harga.
Mekanisme transmisi kebijakan moneter ini
bekerja memerlukan waktu (time
lag). Time lag masing-masing jalur bisa berbeda
dengan yang lain. Jalur nilai tukar biasanya bekerja lebih cepat karena
dampak perubahan suku bunga kepada nilai tukar bekerja sangat cepat.
Kondisi sektor keuangan dan perbankan juga sangat berpengaruh pada kecepatan
tarnsmisi kebijakan moneter. Apabila perbankan melihat risiko
perekonomian cukup tinggi, respon perbankan terhadap penurunan suku bunga BI
rate biasanya sangat lambat. Juga, apabila perbankan sedang melakukan
konsolidasi untuk memperbaiki permodalan, penurunan suku bunga kredit dan
meningkatnya permintaan kredit belum tentu direspon dengan menaikkan penyaluran
kredit. Di sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga belum
tentu direspon oleh meningkatnya permintaan kredit dari masyarakat apabila
prospek perekonomian sedang lesu. Kesimpulannya, kondisi sektor keuangan,
perbankan, dan kondisi sektor riil sangat berperan dalam menentukan
efektif atau tidaknya proses transmisi kebijakan moneter.
2.8 Efektifitas Kebijakan Fiscal Dan Moneter
Dalam Mengantisipasi Krisis Energy Dan Pangan
Dari sisi fiskal, kenaikan harga minyak di
atas asumsi USD 60 per barel akan mengubah komposisi APBN 2008 melalui
dampaknya pada pendapatan maupun belanja negara. Pada sisi pendapatan, kenaikan
harga minyak akan meningkatkan pendapatan production sharing (KPS) minyak dan
PNBP gas serta pendapatan negara dari PPh Migas. Dari sisi belanja, kenaikan
harga minyak akan meningkatkan belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil ke
pemerintah daerah. Dalam hal ini, risiko fiskal dari kenaikan harga minyak
secara umum tidak separah sebagaimana yang diprediksi sebagian pengamat.
Kenaikan harga minyak global justru menguntungkan pemerintah karena akan
terdapat peningkatan penerimaan bersih yang bisa dialokasikan untuk kebutuhan
lain.
Dari struktur APBN 2008, kenaikan harga
minyak yang rata-rata USD 10 per barel akan meningkatkan surplus (penerimaan
bersih) pemerintah Rp 3 triliun. Peningkatan penerimaan bersih itu dimungkinkan
oleh adanya fiscal space yang lebih luas dalam struktur APBN sejak diambilnya
kebijakan pemotongan subsidi BBM pada 2005. Namun, peningkatan surplus di atas
hanya dimungkinkan bila target lifting minyak domestik, yang diasumsikan 1,034
juta barel per hari pada APBN 2008, terpenuhi. Bila terdapat penurunan lifting
minyak domestik 50 ribu barel per hari, justru akan terdapat peningkatan
defisit bersih antara Rp 10 triliun-Rp 11 triliun pada APBN 2008. Untuk itu,
dari sisi fiskal, yang perlu diwaspadai adalah pengurangan jumlah lifting
minyak domestik. Berdasar pengalaman tahun-tahun sebelumnya, penurunan asumsi
hampir selalu terjadi. Sebagai contoh, ada selisih 50 ribu barel per hari dalam
asumsi APBN Perubahan (APBNP) 2007 dibandingkan APBN 2007.
2.8.1
Kenaikan Harga Energi
Kenaikan harga energi terutama minyak bumi
mempunyai pengaruh signifikan terhadap harga pangan dan dapat menyebabkan
krisis pangan dunia. Membubungnya harga pangan dunia, sebagian merupakan akibat
dari banyaknya penggunaan bahan pangan yang digunakan untuk bahan bakar organik
(biofuel), yang dimaksudkan menjadi tren kesadaran lingkungan negara industri
maju. Seperti jagung dan kelapa sawit, sebelumnya kedua pangan itu untuk
konsumsi masyarakat dunia, namun saat ini banyak dijual untuk biofuel yang
permintaannya tinggi. Produksi jagung di dunia dari 2004 - 2007, dalam catatan
Bank Dunia, hampir seluruhnya digunakan untuk biofuel di AS.
2.8.2
Kenaikan Harga Pangan
Kenaikan harga pangan yang drastis akibat
dari penggunaan produk pangan untuk pemenuhan energi global dapat terlihat dari
fluktuasi harga pangan yang telah terjadi di Indonesia. Harga beberapa
komoditas pangan penting terus merangkak naik sejak akhir tahun 2007 hingga
kini. Kenaikan berkisar 18% hingga 60%. Lonjakan tertinggi terjadi pada
komoditas minyak goreng, disusul kedelai, tepung terigu, dan beras. Harga
minyak tanah pun sempat melonjak hingga 50%. Bahkan di beberapa daerah terjadi
kelangkaan. Kondisi seperti ini tentunya sangat memukul masyarakat miskin dan
juga mulai berdampak pada masyarakat ekonomi menengah. Kekurangan pasokan bahan
pangan dunia sudah dapat dipastikan akan mendorong kenaikan harga pangan dunia,
terlebih pada negara yang sangat tergantung pada impor. Melihat kenyataan ini,
perlu dibangun konsensus global untuk memprioritaskan menjaga kestabilan harga
pangan dunia.
Untuk mengantisipasi kemungkinan krisis
pangan dan energi yang akan terjadi karena kenaikan harga energi global dan
penggunaan komoditas pertanian untuk kebutuhan energi maka diperlukan langkah
kongkrit dari pemerintah selaku pemegang kebijakan fiskal maupun bank Indonesia
selaku pemegang kebijakan moneter di Indonesia. Kebijakan yang diambil harus
dapat memperhatikan dampaknya terhadap perekonomian nasional serta kondisi riil
yang dihadapi saat ini berkenaan dengan permintaan akan kebutuhan energy dan
pangan secara global.